Rabu, 12 September 2007

Sepenggal Cerita di Pelita

Tinggi menjulang disana
Indah Menara Masjidku
Masjid yang indah dan megah
Aku cinta kepadamu

Akan kujaga kau masjidku
Sampai kapanpun juga
Akan kukenangpengalaman
Bersama di masjidku


Kami terkenang saat anak-anak melantunkan lagu indah itu dengan riang. Pakaian yang sedikit lusuh dan raut muka yang menunjukkan bahwa mereka bukan dari golongan berada. Mereka berkumpul di sebuah masjid yang cukup indah di kawasan Pelita, Pulau Batam. Mereka berkumpul untuk belajar ilmu agama sekaligus mengulang kembali beberapa pelajaran yang didapat di sekolah.

Sejenak hilang kelelahan mereka, yang sehari-hari menjalani hidup dengan keras di pinggiran jalan. Ya, mereka adalah anak-anak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ada yang berprofesi sebagai tukang semir sepatu, mengumpulkan sampah sampai mengemis.

Sebenarnya mereka bukan putus sekolah, masih sekolah namun mengalami kesulitan dalam mengejar prestasi di sekolah karena waktunya banyak digunakan untuk bekerja membantu orangtua mereka. Mereka membutuhkan bimbingan untuk menumbuhkan kepercayaan diri mereka dalam belajar di sekolah sekaligus memberikan bekal pelajaran agama.

Awalnya program pembinaan anak jalanan ini hanya berupa obrolan berdua dengan seorang pengusaha wanita yang prihatin dengan keadaan anak-anak kurang mampu. Ibu yang baik hati ini mengajak istri saya bagaimana kalau dilakukan pembinaan kepada anak-anak jalanan ini agar terselamatkan dari tindakan yang menyimpangkan aqidah mereka. Biar manfaatnya ganda, mereka akan kita bina dalam dua hal sekaligus, pembinaan agama dan mengejar prestasi di sekolah mereka. Kami mengajarkan juga pelajaran matematika, bahasa Inggris, bahasa Arab, menyanyi dan pidato.

Mendengar cerita dari istri saya, kami langsung sepakat menjalankan program ini. Ibu pengusaha itu juga telah menghubungi seorang temannya yang bersedia menjadi pembimbing anak-anak, beserta istrinya sekaligus. Jadilah kami berempat, dua pasang suami-istri yang menjadi pembimbing bagi mereka. Ibu pengusaha ini yang menjadi donatur.

“Ayo sekarang Gilang maju, baca doa naik kendaraan.” Kata Iskandar, suami Nafilah, mencoba hafalan doa-doa pendek dari anak-anak binaannya.

Anak-anak ini kami bagi menjadi dua kelompok berdasarkan umur dan kelas sekolah mereka. Satu kelompok dipegang Iskandar dan istrinya, satu kelompok lagi kami asuh.

Awalnya, bukan pekerjaan mudah mengumpulkan mereka pada waktu yang ditetapkan agar bisa hadir di masjid. Kami menjadwalkan bertemu mereka 3 kali seminggu. Pada hari-hari pertama kami harus selalu keliling ke rumah-rumah mereka, menjemput mereka agar mau datang ke masjid.

Kadang ada yang sedang di jalan, suatu saat ada yang masih mencari sampah di pinggiran sungai. Kami menunggu mereka mandi lalu membawanya ke masjid. Begitu seterusnya hingga berjalan sebulan lebih.

Setelah beberapa bulan kami sudah saling mengenal dan semakin akrab. Bahkan kami anggap mereka seperti anak-anak kami sendiri. Hari-hari berikutnya kami menikmati kebersamaan ini dengan bahagia. Mereka tidak perlu dijemput lagi ke rumahnya. Setiap waktu sekolah sore, begitu kami menyebutnya, mereka sudah berada di masjid.

Kadang kami bawakan makanan ringan untuk mereka. Snack, buah-buahan atau susu. Mereka sangat senang dan menikmatinya. Kalau ada yang sedang ulangtahun kami juga rayakan dengan sederhana. Salah satu diantara mereka memimpin doa lalu kami makan bersama.

Pada saat liburan sekolah, kami mengadakan wisata ke pantai. Mereka terlihat sangat riang. Pagi-pagi kami semua sudah berkumpul di halaman masjid. Mobil bis mini yang mengantarkan kami juga sudah sampai. Kami pergi ke pantai Marina. Disana kami siapkan beberapa permainan dan lomba. Tentu saja dilengkapi dengan hadiah-hadiah sederhana. Sungguh, keceriaan menyelimuti semua wajah mereka. Kami juga senang bisa melihat mereka bergembira. Seakan mereka lupa kehidupan sehari-hari yang penuh penderitaan.

Salah satu kejadian yang tidak terlupakan adalah ketika sebuah yayasan yang kami kenal mengadakan khitanan massal. Hampir semua anak-anak kami ini sudah usianya untuk dikhitan. Jadi kami daftarkan beberapa diantara mereka.

Pada hari pelaksanaan, kami semua berkumpul di lokasi acara di Sei Panas, kawasan Batam Centre. Berkumpul juga anak-anak kurang mampu dari tempat lain. Totalnya mencapai 40-an anak. Panitia memutarkan film Children of Heaven untuk menghibur mereka sambil menanti giliran di-eksekusi. Candra, yang paling kecil diantara anak kami takut sekali. Apalagi menjelang masuk kamar operasi.

Alhamdulillah dia mampu melewati masa menegangkan itu dengan baik. Justru, Dido, yang agak besar malah menangis ketika dokter mendekatkan gunting potongnya. Darahnya juga sampai berserakan kemana-mana terkena gerakan kakinya yang meronta. Kemudian dia terdiam dan sudah bisa tersenyum ketika keluar dari ruangan.

Lain lagi dengan Alim, dia kelihatan tidak takut sama sekali. Sambil menunggu giliran dia masih tetap bermain-main bersama teman-temannya. Bahkan masih sempat berkejaran. Pada saat pelaksanaan dia pun kelihatan cengar-cengir seakan tidak merasakan sakit. Selesai semua, dokter berpesan agar kami memantau kondisi anak-anak dan jika sampai tiga hari berikutnya ada yang bersamalah, segera hubungi tim medis.

Tiga hari kemudian saya bersama istri berkunjung ke rumah anak-anak yang kemarin dikhitan. Hampir semuanya baik-baik saja, kecuali Alim. Kata ibunya, bagian yang disunat jadi bengkak. Kemudian kami lihat dan kami sampaikan untuk membawanya ke rumah sakit yang ditentukan untuk menemui dokter yang mengkhitannya. Kami tinggalkan uang secukupnya untuk transport.

Perkembangan sekolah mereka juga menunjukkan hal baik. Mereka sudah rajin ke sekolah dan tidak lagi minder. Mereka mampu mengerjakan tugas-tugas sekolah dengan baik. Mereka juga mulai berani tampil ke depan, memimpin doa, mengerjakan soal atau bernyanyi. Rapor mereka menunjukkan perbaikan yang berarti.

Ketika liburan Hari Raya tiba, sekolah sore juga libur. Mereka ada yang diajak pulang kampung oleh orangtuanya. Ada juga yang sama neneknya. Oh iya, sebenarnya tidak semuanya anak tidak mampu. Ada satu anak perempuan, Ririn, ayahnya seorang polisi. Tapi dia sangat menikmati sekolah sore bersama teman-temannya. Ketika perpisahan liburan kami semua saling berpesan untuk saling mendoakan. Dan ingat untuk kembali kesini setelah liburan usai.

Satu-persatu kami peluk anak-anak manis ini. Seakan berat berpisah dengan mereka. Mereka telah menjadi bagian dari hidup kami.

“Ibu… doakan Ririn ya ..”
“Rido juga bu …”
“Kesi akan bawakan oleh-oleh nanti dari rumah nenek buat Ibu …”
“Candra nggak kemana-mana, nanti Ibu datang ya pas lebaran …”
“Maafkan Dido ya Bu, Dido sering tidak masuk sekolah sore”
“Alim mau ikut Ibu saja … ”

Tak terasa tetesan air hangat membasahi pipi kami. Baru setahun kami bersama-sama di masjid ini, namun rasanya kami telah begitu dekat.

Kini waktu sudah berjalan lebih dari 6 tahun setelah kejadian itu. Kami berdua juga sudah pindah ke luar kota. Sudah lama tidak bertemu dengan Iskandar dan Nafilah. Namun kenangan bersama di Masjid Al Falah bersama anak-anak Pelita tidak akan pernah terlupa.()

Tidak ada komentar: