Rabu, 26 September 2007

Aa, Kok Tidur di Luar?

Beruntung aku dikaruniai seorang suami yang baik seperti dia. Sekarang sudah 7 tahun lebih berumah tangga hampir tak pernah sekalipun ia menyakitiku secara fisik. Ia orang yang paling sabar yang pernah kukenal. Jika ia marah atau tidak suka dengan sesuatu, ia hanya mensikapinya dengan diam. Sejak pertama kami menikah begitulah cara pelampiasan kemarahan yang ia katakan padaku sewaktu hari pertama pernikahan kami.

Kami menikah ketika sama-sama bekerja di Batam. Aku bekerja di sebuah perusahaan terkemuka di Batamindo, Muka Kuning, sebagai senior operator. Dan dia bekerja di sebuah perusahaan asing juga, di kawasan Sekupang. Kami menikah tanpa pacaran sebelumnya, bahkan boleh dibilang kami tidak saling mengenal sebelum menikah. Ya memang hampir semua teman-temanku juga menikah dengan cara yang sama sepertiku. Jadi hal seperti ini bukan sesuatu yang aneh di Batam.

Saat itu usiaku sudah hampir 25 tahun, usia yang krusial bagi seornag gadis sepertiku. Apalagi keluargaku di Jawa Barat sudah beberapa kali menanyakan kapan aku menikah. Hampir semua orang menanyakan hal itu saat aku pulang kampung atau menelpon menanyakan kabar mereka. Akhirnya ketika ada seorang ibi muda yang aku kenal baik menawarkan proposal seorang lelaki yang ingin menikah langsung saja aku terima.

Hampir tidak ada sesuatu yang aku pertimbangkan saat itu, siapapun dia asal dia lelaki yang Muslim, shalih dan taat akan aku terima. Tentang hal lain urusan nanti, pikirku. Akhirnya setelah aku baca biodatanya aku menyatakan bersedia dengan syarat dipertemukan dulu untuk taáruf dengannya. Setelah bertemu dengannya aku semakin yakin dan dengan mantap menerima pinangannya.

Kejadiannya berlangsung dengan cepat ketika dua minggu kemudian dia datang ke orangtuaku untuk khitbah, sebulan kemudian kami menikah.

Setelah menikah, kami tinggal di rumahnya, lebih tepat asrama yang disediakan perusahaan, di kawasan elit Perumahan Green Court. Kehidupan kami jalani dengan penuh kebahagiaan. Meskipun suamiku adalah orang yang sibuk, namun ia selalu memperhatikan kebutuhanku sebagai istrinya. Ia sering membawakan oleh-oleh untukku. Memang hal yang sederhana, dan mungkin bagi orang lain tidak terlalu istimewa, namun bagiku adalah sesuatu yang menyenangkan ketika suamiku pulang membawa pisang goreng, kadang bawa mie ayam, martabak atau beberapa buah apel.

Selain bekerja di kantor, suamiku punya pekerjaan sampingan menjual buku-buku, kaset dan minyak wangi. Dia juga aktif di beberapa organisasi sosial, remaja masjid, yayasan dan Ikatan Dai Muda Kota Batam. Sebagai seorang pendakwah, ia sering diundang mengisi ceramah di masjid, sekolah atau di majelis taklim PT. Dan karena aktifitasnya itulah ia sering pulang malam. Bahkan kadang jika kegiatannya harus bermalam di tempat lain aku harus rela untuk di rumah sendiri. Biasanya aku mengajak teman-teman yang dulu se-dormitori denganku untuk menginap di rumah kami.

Aku memanggilnya Aa. Meskipun dia bukan orang Sunda sepertiku tapi aku lebih senang memanggilnya demikian. Dia juga senang dipanggil demikian.

Aa termasuk orang yang romantis. Sangat mengerti perasaan wanita seperti aku yang menjadi istrinya. Pernah suatu kali pulang dari tugas luar kota ia memberikan aku serangkai bunga yang ia beli di kota tersebut.

Suatu saat ketika ia pergi ke Jakarta untuk training selama seminggu, aku dikagetkan oleh seorang petugas pengantar delivery order dari sebuah restoran siap saji yang ada di kawasan Nagoya yang datang datang ke rumah mengantarkan sebuah paket makanan ayam goreng. Katanya ada kiriman dari Jakarta. Ternyata suamiku mengirim paket makanan ayam goreng itu melalui internet dan restoran capat saji yang sudah online itu mengirim melalui cabangnya yang ada di Nagoya. Di luar paket tersebut ada sebuah kertas dengan pesan singkat "Selamat Makan Siang, Aa Kangen sama Ade' -- dari XXXX tertulis jelas nama suamiku disana." Aku sangat senang membacanya.

Dia juga sering menuliskan surat cinta untukku. Terutama sebelum ia pergi untuk beberapa hari lamanya, baik urusan pekerjaannya maupun urusan tugasnya sebagai seorang dai. Sebelum berangkat biasanya ia meninggalkan dua buah surat. Yang satu surat untuk aku baca setelah ia berangkat dan satu surat lagi pesannya untuk dibaca kalau dia tidak pulang selamanya. Ah.. Aa memang sering membuatku berdebar. Tapi katanya itu adalah sunah Nabi, meninggalkan wasiat sebelum bepergian. Dan entah kenapa itu lebih membuatku merasa tenang ketika ia meninggalkanku.

Dalam suratnya, selain ungkapan cinta dan sayang, ia selalu berpesan agar aku selalu menjaga sholat, rutin membaca Al Quran, berdoa kepada Allah agar diberi keturunan yang shalih dan menjaga rumah beserta isinya. Satu surat lagi menurutnya adalah daftar hutang piutang yang ia miliki, tapi aku belum pernah membukanya karena Alhamdulillah ia selalu pulang, hingga sekarang.

Aa juga orang yang tidak banyak mengeluh dengan keadannya, termasuk juga keadaanku. Ia tidak pernah marah kalau sampai di rumah ternyata tidak ada makanan yang sesuai seleranya. Ia selalu menikmati apapun makanan yang aku sediakan. Dan ia juga selalu mengatakan bahwa makananku enak, padahal aku sendiri yang memasak kadang merasa kalau masakanku kurang lezat.

Sungguh, Aa termasuk orang yang berakhlak baik kepada istrinya. Katanya ia ingin mencontoh Rasul, yang selalu berakhlak baik kepada istrinya.

Pernah suatu hari, ia pulang agak larut malam. Aku yang menunggunya sampai tertidur. Karena sudah mengantuk berat aku pindah ke kamar yang letaknya di belakang. Biasanya kalau Aa tidak pulang atau terlambat pulang ia menelepon dulu. Tapi entah kenapa malam itu ia tidak menelpon. Aku sudah tidak dapat menahan rasa kantuk sehingga aku terlelap.

Rasa kagetku muncul ketika terbangun, aku tidak mendapatkan suamiku di sisiku. Wah, Aa belum pulang, pikirku. Jam menunjukkan pukul 03.00 Wib. Lampu di ruang tamu masih menyala, aku coba menyibakkan tirai jendela. Loh motornya sudah di rumah. Berarti Aa sudah pulang. Aku coba buka tirai lebih lebar dan menyebar pandangan ke beberapa sudut rumah.

Deg. Pandanganku seakan tak percaya melihat sesosok tubuh yang kukenal tidur di depan pintu samping dekat dapur. Dengan beralaskan kain spanduk yang biasa tersimpan di gudang samping rumah, dan sebuah sarung yang menyelimutinya. Aku merasa bersalah melihat kondisi suamiku. Segera aku buka pintu samping dan aku bangunkan Aa.

"Aa kok kenapa tidur di luar? Kenapa tidak bangunkan Ade?... Aa.... Ade minta maaf..." aku memeluknya dan airmataku mengalir pelan karena penyesalanku.

Tapi Aa terlihat tenang saja. Ia mencium pipiku dan keningku sambil tersenyum dan menyeka air mataku.

"Justru Aa yang minta maaf, karena pulang terlambat tanpa ngasih tahu Ade..." jawab Aa sambil melipat kain spanduk dan masuk ke rumah. Aku mengunci kembali pintunya. Lalu aku mengambilkan minum.

"Tapi kan Aa kedinginan di luar.. tuh banyak bekas gigitan nyamuk.. Kenapa Aa tidak telepon atau ketuk pintunya sampai Ade bangun? " lanjutku dengan mimik menyesal.

"Rasulullah dulu kalau pulang terlambat, mengetuk pintu 3 kali tidak dibukakan, beliau tidur di luar... Sebenarnya Aa sudha ketuk pintunya juga beberapa kali, tapi mungkin Ade kecapaian jadi Aa putuskan tidur disana saja. HP-nya sedang mati, baterieinya habis. Lagian kan ada kain spanduk banyak, bisa dijadikan alas." jawab suamiku dengan kalem.

"Sudah yuk kita wudhu, masaih ada waktu, kita sholat lail berjamaah. Aa nggak apa-apa kok. Aa tidak marah sama sekali. Justru Aa bersyukur bisa mencontoh apa yang pernah dilakukan Rasul." lanjutnya.

Lalu kami pun mendirikan sholat. Ia membaca surat An Naba pada rakaat pertama, dilanjutkan beberapa ayat surat Al Baqarah pada rakaat kedua. Aku tidak sanggup menahan haru atas semua kejadian yang aku lalui bersamanya. Sungguh, Allah telah memberikan kepadaku anugerah terindah dengan diberikan suami seperti Aa..

Setelah kejadian hari itu, beberapa kali Aa tidur lagi di luar. Dua bulan setelah itu pernah terjadi hal yang hampir sama, waktu itu Aa lupa bawa kunci yang telah digandakan. Dan terulang lagi beberapa kali pada bulan-bulan berikutnya. Jika aku terbangun tengah malam dan tidak mendapatinya disisiku padahal ia tidak pamit untuk menginap, sudah hampir pasti ia tidur di luar seperti malam itu.

Ah, Aa... sekarang sudah ada 4 orang buah hati anugerah ilahi yang menerangi dan meramaikan rumah tangga kita. Engkau masih saja seperti yang dulu. Sekarang sholat malam kita tidak hanya berdua, ada di sulung yang rajin ikut serta dan si Mbak yang juga tidak mau ketinggalan.

Sekarang kami sudah tidak di Batam lagi, namun kota Pulau itu telah menanamkan banyak kenangan bagiku. Benar kata orang yang sama-sama pernah merantau di Batam. Kota Batam, Kota Cinta, Kota Kenangan. ()

Untuk Aa : Maaf ya Ade ceritakan ini, Ade kangen saat-saat indah bersama Aa...

Selasa, 25 September 2007

Episode di Pondok Cinta

Ini kisah dari seorang teman yang tinggal di dormitory Blok P. Namanya Fatiya.

Kami tinggal di dormitory untuk para operator. Salah satu lantai di Blok P, Batamindo, Muka Kuning. Seperti dorm pada umumnya, kami tinggal dalam jumlah yang banyak. Ada 12 orang yang menjadi penghuni rumah tinggal kami ini. Masih lumayan dibanding dormitori lain yang kadang sampai berpenghuni 16 orang. Jangan bandingkan dengan dorm para leader atau teknisi yang cuma dihuni 4 orang. Malah ada yang cuma 2 orang saja.

Namanya juga dormitori, kami tidak bisa memilih tempat tinggal yang orang Indonesia pada umumnya menyebut asrama ini. Kami hanya tinggal menempati saja, karena sudah ditentukan oleh perusahaan.

Kami menyebut tempat tinggal kami sebagai pondok cinta. Nggak tahu bagaimana awalnya, yang jelas kami selalu berusaha menyayangi satu sama lain. Meskipun kami berasal dari daerah yang berbeda, juga rentang usia yang berbeda pula.

Yang paling senior, kami memanggilnya Teh Fitni. Dia sudah lebih dari 5 tahun bekerja di perusahaan elektronik yang paling favorit ini. Tapi sampai sekarang masih menjadi operator. Kami menganggap Teh Fitni sebagai orangtua bagi kami, karena disamping usianya yang memang sudah tergolong dewasa, menjelang 30 tahun, mojang Bandung yang cantik ini juga memiliki sifat keibuan, mengayomi dan sangat baik hati. Bahkan ada yang memanggilnya Mami, karena di rumah ini dialah yang lebih banyak mengurus kami. Entah kenapa para lelaki tidak segera melamar Teh Fitni, sehingga sampai seusia yang lebih dari cukup itu ia masih berstatus gadis. Padahal wajahnya lumayan cantik, katanya kalau orang Sunda memang wajah standarnya ya lebih cantik dari paras biasanya. Ia juga dewasa, pintar, baik hati, dan mudah bergaul dengan siapapun, kecuali dengan lelaki.

Teh Fitni memang sangat tertutup dengan lawan jenis. Dia memakai kerudung lebar, hampir sampai menutup seluruh tangannya. Dia aktif di beberapa kegiatan, terutama Majelis Taklim perusahaan dan Remaja Masjid Nurul Islam (RMNI). Kadang-kadang memang ada tamu lelaki yang mencarinya, tapi paling cuma berbicara masalah kegiatan, mengantar buku, undangan rapat, dan sejenisnya, itupun mereka hanya berbicara sebentar. Teh Fitni malah kadang hanya menerima tamunya dari balik pintu. Kalaupun menemui tamu lelakinya di luar pintu, dia hanya berbicara sambil menunduk. Entahlah, Teh Fitni seperti orang aneh, sama sekali tidak pernah bercerita tentang lawan jenisnya.

Padahal sebagian besar diantara kami sudah punya pacar. Dewi yang baru datang dari Semarang, rekrutan tahun lalu, sekarang sudah punya pacar, seorang teknisi. Beberapa orang diantara kami bahkan sering dikunjungi pacarnya pada hari-hari libur kerja. Tapi kami sudah menyepakati peraturan jam kunjungan ke dormitori kami, tata tertib berkunjung dan lainnya, berdasarkan saran dari Teh Fitni.

Teh Fitni orang yang rajin menolong. Dia juga teman curhat yang baik. Meskipun dia mengaku tidak punya pacar dan tidak punya pengalaman pacaran, kami tetap saja menjadiannya sebagai teman curhat. Dia selalu memberikan pandangan-pandangan yang sangat baik, dengan kedewasaan berpikir dan selalu saja dia menyangkutkan dengan nilai-nilai Islam, sebagaimana ajaran yang kami pegang. Enaknya, Teh Fitni tidak pernah menghakimi kami. Dia tidak pernah berkata dengan keras atau melarang kami pacaran. Dia hanya mengingatkan batas-batasnya, selalu mengingatkan waktu sholat dan seterusnya.

Ia juga sering membelikan kami oleh-oleh. Sepulang dari kegiatan di masjid, ia kerap membawa pulang gorengan, atau makanan kecil lainnya. Apalagi kalau habis mengikuti acara di luar Muka Kuning, ia selalu membawa oleh-oleh. Meskipun sederhana, kami senang mendapat perhatiannya. Waktu pulang ke Bandung, Teh Fitni membawakan kami masing-masing diberi souvenir yang cantik-cantik. Ada uang mendapat tas kecil, dompet, gantungan, hiasan dinding, bahkan ada yang dibawakan kaos lengan panjang. Kami selalu dibuat senang olehnya.

Ketika Shinta, salah satu penghuni kamar ini yang aslinya dari Pekanbaru, mengalami musibah, orangtuanya meninggal dunia. Teh Fitni yang meneghiburnya bahkan menemaninya pulang kampung. Teh Fitni juga yang mengumpulkan bantuan dari teman-teman PT sampai teman-temannya di RMNI. Saat tiba-tiba Komala, yang juga asli dari Bandung tiba-tiba sakit dan harus dirawat di Harapan Bunda, Teh Fitni bahkan rela mengambil cuti untuk menjaga Komala di RS.

Kebiasan Teh Fitni adalah selalu mengingatkan kami untuk menjada kebersihan dormitori. Katanya kebersihan sebagian dari iman, dan ciri wanita yang shalihah. Harus diakui, meskipun kami semua sama-sama wanita, tidak semuanya tertib dalam menjaga kebersihan. Ada yang sering meletakkan barang pribadinya begitu saja. Pulang kerja, karena capek, apalagi kalau shift second, wah terasa sekali capeknya. Jam 11 malam masuk rumah seperti tinggan separuh tenaga. Biasanya teman-teman suka meletakkan barang begitu saja, sepatu dicampakkan sembarangan, uniform disampirkan ke kursi, pintu, pinggiran tempat tidur, dll. Handuk juga sering mampir di semua tempat. Dan saat seperti itu biasanya Teh Fitni yang merapikannya. Tiba-tiba saja pagi hari kami dapatkan, handuk sudah tertata rapi di jemuran. Sepatu sudah tertata rapi, baju-baju kami juga terlipat atau digantung rapi di dekat lemari masing-masing.

Pernah suatu hari aku pulang kegiatan agak terlambat. Oh iya, aku berbeda dengan Teh Fitni. Aku lebih senang berpenampilan simple. Rambut potong agak pendek, pakaian juga yang simple, celana jeans, t-shirt lengan pendek dan selalu membawa tas gantungan. Aku ikut kegiatan Karang Taruna dan Argapala, kelompok pecinta alam.

Saat pulang ke dormitori sore itu aku teringat bahwa aku masih punya cucian yang belum selesai. Aku termasuk orang yang agak malas mencuci. Kemarin sebelum berangkat acara kemah aku sempat merendam pakaianku dalam 2 ember. Satu ember besar untuk berbagai jenis pakaianku seminggu dan satu ember kecil berisi unform agar tidak terkena noda luntur.

Sampai di rumah aku celingukan kesana-kemari karena tidak mendapatkan ember-emberku. Wah gawat, pikirku. Bajuku dimana?

Tiba-tiba Teh Fitni menjulurkan wajahnya dari balik sekat yang membatasi dapur dengan kamar mandi. "Fatiya, ya.... Maaf dhek, bajunya Teteh cuciin, mungkin sekarang udah kering, itu dijemuran.." teriak Teh Fitni enteng.

Aku kaget mendengar ucapan Teteh kami ini. Kok bisa-bisanya mencucikan bajuku yang seabrek gitu. Saat aku mendekat mau meminta penjelasan, Teh Fitni sudah menimpali kembali,

"Soalnya Teteh kasihan sama Tiya, nanti kalau pulangnya sora, bajunya belum dicuci, takut nggak dapat panas lagi. Kan uniformnya besok dipakai kerja, masuk pagi kan? Kebetulan Teteh juga sedang senggang, ya sudah Teteh cuci saja... nggak apa-apa kan?" lanjut Teh Fitni yang membuatku semakin merasa tidak enak.

Belum sempat aku mengucapkan terima kasih karena masih bingung seakan tidak percaya, si Teteh sudah mengemasi maskannya, sudah pamitan lagi.

"Tadi Teteh sudah goreng ikan sama tempe, ada sayur asam di meja dan di kulkas masih ada kue kecil. Nanti buat makan malam Tiya sama Komala ya. Yang lainnya tadi sudah makan, yang masuk malam biasanya sudah siap-siap makan malamnya. Teteh mau ada acara di Nuris (Masjid Nurul Islamm-pen) mungkin pulang agak malam. Dah ya Tiya, istirahat aja, kan capek habis camping. Wassalamuálaikum."

Begitu saja si Teteh mencium pipiki kanan dan kiri lalu berlalu keluar kamar. Hanya kibasan jilbab panjangnya yang aku rasakan. Aku hampir tidak percaya dengan semuanya.

Teh Fitni, ah... air mata ini tiba-tiba saja tidak terbendung. Begitu baiknya dirimu kepada kami yang engkau anggap sebagai adik-adikmu sendiri. Masih ada orang sebaik dirimu Teh... Engkau bukan hanya seorang bidadari di rumah ini, engkau adalah bidadari kehidupan kami. Cantik wajahmu, cantik juga hatimu.()

buat alumni Blok P # sekian # sekian # sekian, kapan ya kita bisa bertemu lagi...

Senin, 24 September 2007

Hilangnya Sebuah Mobil

Tidak mudah mempercayai seseorang, dan tidak mudah mencari orang yang bisa dipercaya, apalagi di kota seperti Batam ini, yang merupakan tempat berlabuhnya berbagai macam tipe manusia dan dari berbagai daerah, dengan karakter dan sifat yang berbeda pula.

Kejadian itulah yang dialami Suwarto. Ayah seorang anak itu sama sekali tidak menaruh sedikitpun curiga kepada Irfan, teman yang sudah dianggap adiknya itu. Bagaimana tidak. Irfan adalah remaja yang ia didik untuk bekerja di bengkel mobil tempat ia bekerja. Selama bersamanya Irfan belum pernah sekalipun menunjukkan ciri bahwa ia akan mendustainya.

Awalnya Suwarto mengenal Irfan ketika seorang temannya datang ke bengkelnya untuk menanyakan apakah bisa menerima anak PKL di bengkelnya tersebut. Memang bengkel miliki Suwarto cukup dikenal dan sering dijadikan tempat praktek oleh siswa STM bahkan mahasiswa. Di samping karena manajemen bengkelnya bagus, pengelolaannya yang profesional, menangani berbagai merek kendaraan, dikerjakan oleh teknisi yang sudah ahli dan sudah mendapatkan sertifikasi untuk bengkel standard nasional. Dan Suwarto adalah salah seorang teknisi senior di bengkel tersebut.

Karena sudah sering menangani siswa PKL, dan lagipun ia kenal baik dengan temannya itu, maka Suwarto pun mendaftarkan Irfan untuk PKL di bengkel itu selama 3 bulan. Selama waktu itu Irfan boleh membantu pekerjaan bengkel dan hanya mendapat fasilitas makan siang. Dan sejak saat itu pula Irfan sudah langsung diterima.

Beberapa hari berikutnya Irfan menunjukkan sikap sebagai pelajar yang baik. Ia selalu membantu Suwarto dalam melakukan pekerjaannya. Mengambilkan toolset, membersihkan onderdil, mengganti oli dan pekerjaan lain yang bisa ia lakukan. Suwarto juga tanpa segan-segan memberikan penjelasan yang dibutuhkan oleh Irfan.

Semakin lama, mereka semakin dekat dan akrab. Irfan sering bermain ke rumah Suwarto, dan Suwarto juga sering memberikan bantuan kepada Irfan. Kadang-kadang Suwarto mengajaknya makan siang bersama di rumah, kadang mentraktirnya makan di luar. Irfan juga banyak belajar tentang agama kepada Suwarto. Kebetulan Suwarto termasuk orang yang taat dan memiliki wawasan yang luas. Meskipun kerja di bengkel, Suwarto selalu mengikuti perkembangan politik, situasi sekitar pada umumnya. Suwarto juga termasuk orang yang gemar membaca, terbukti di rumahnya banyak buku-buku bacaan dari berbagai jenis ilmu, mulai buku-buku Islam, buku politik, buku tentang mesin otomotif, karya sastra dan beberapa jenis majalah yang tersusun rapi berdasarkan periode terbitnya. Terlihat bahwa Suwarto memang memiliki kegemaran membaca yang cukup baik.

Begitulah, mereka berdua semakin akrab hingga waktu PKL berakhir. Irfan akhirnya pulang kampung di daerah bagian barat Sumatera. Ia harus melanjutkan sekolah, membuat laporan dan meneruskan hingga lulus. Katanya setelah lulus ia ingin kembali ke Batam lagi dan mencoba mengadu nasib di kota ini. Suwarto tidak lupa berpesan, menitip salam untuk keluarganya, guru pembimbing di sekolah dan mengimgatkan untuk sering-seirng menghubunginya, apalagi jika nanti sudah lulus dan datang ke Batam lagi, Irfan disuruhnya mampir ke rumah.

Kurang lebih setahun kemudian, Suwarto hampir tidak pernah mendengar kabar Irfan, hanya beberapa kali setelah selesai PKL Irfan menghubunginya untuk konsultasi pembuatan laporan dan mengirimkan laporan PKL-nya melalui pos untuk ia tandatangani, setelah itu ia tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Hingga suatu hari ia dikagetkan oleh kedatangan Irfan di rumahnya. Penampilan Ifran sudah berubah. Ia berpenampilan seperi seorang aktifis. Celananya dipotong di atas lutut dan mengenakan kopiah haji. Ia juga mengenakan baju koko.

"Datang ke Batam kok nggak bilang-bilang, kapan sampainya?" Tanya Suwarto ketika Irfan sudah ia persilakan duduk di ruang tamunya.

"Maaf Pak To, Fan sebenarnya sudah satu bulan disini, tapi menghubungi Pak To malu, takut merepotkan. Sekarang Fan sudah punya pekerjaan." jelas Irfan.

"Oh, iya? Kerja dimana" sambung Suwarto

"Usaha kecil-kecilan, berdagang. Tapi sekarang sedang ada peluang bagus. Fan mau membuat kue, pasarnya sudah ada. Tapi Fan modalnya belum cukup. Makanya Fan datang kesini, mau minta tolong Bapak. Fan perlu tambahan modal.. " jawab Irfan tanpa segan-segan langsung mengungkapkan keinginannya.

"Berapa kira-kira perlu modalnya, kalau banyak ya aku nggak punya. Tahu sendiri kan bagaimana keuanganku." jawab Suwarto.

"Nggak banyak kok Pak, cuma 500 ribu saja, untuk tambahan beli tepung dan gula. Peralatannya sudah ada."

Sambil melajutkan pembicaraan seperlunya, akhirnya mereka berpisah. Suwarto memberikan uang yang diminta bekas anak didiknya itu. Irfan berjanji akan mengembalikan bulan depan jika kuenya sudah laku.

Sebulan kemudian Irfan datang lagi, tapi tidak untuk membayar hutangnya yang 500 ribu itu. Dia malah menceritakan omset kuenya yang sudah bertambah banyak. Pelanggannya juga bertambah setiap hari. Dalam waktu sebulan ia sudah bisa mengirim 1500 paket kue ke warung-warung dan toko di Batu Aji dan sekitarnya. Bahkan sudah ada beberapa toko di Simpang Dam, Perumahan Genta dan Sekupang. 2 minggu terakhir ia harus menyewa mobil untuk mengantarkan pesanan ke pelanggannya.

Karena itulah Irfan datang ke rumah Suwarto lagi untuk meminta maaf kalo pinjamannya akan ia pakai untuk diputar lagi, bahkan ia menawarkan kalau mau ikut investasi Suwarto bisa menambahkan modal dan nanti akan mendapatkan bagi hasil dari keuntungannya. Irfan juga merayu Suwarto untuk menyewa mobilnya saja, agar uang sewanya untuk Pak Suwarto saja, tidak usah menyewa ke orang lain.

Dengan tujuan untuk membantu teman karibnya itu, akhirnya Suwarto merelakan mobilnya dibawa Irfan. Ia dijanjikan akan diberikan uang sewa 1,5 juta per bulan, sebagaimana wajarnya harga sewa mobil. Tapi Suwarto tidak menyanggupi permintaan tambahan modal dari Irfan karena memang ia tidak memilikinya. Ia hanya pesan kalau sudah ada, uangnya dikembalikan sejumlah yang ia pinjam saja.

Bulan berikutnya Irfan datang lagi. Kali ini Irfan semakin terlihat cerah. Usahanya boleh dibilang sangat berhasil. Dan kali ini ia ingin melakukan negosiasi dengan Suwarto tentang mobilnya.

"Setelah Fan pikir, daripada Fan menyewa terus ke Bapak, bagaiman kalau mobil Bapak Fan beli saja. Harganya berapa terserah Bapak, tapi Fan membayarnya mengangsur sesuai dengan harga sewa mobil ini, yaitu 1,5 juta sebulan." jelas Irfan kepada pembimbing PKL-nya itu.

Sekali lagi Suwarto tidak bisa menolak permintaan orang yang ia anggap sebagai adiknya itu. Ia menyetujui menjual mobilnya kepada Irfan dengan harga 20 juta, dengan rincian uang muka sebesar 2 juta, selanjutnya angsuran 1,5 juta per bulan selama setahun.

Mereka kemudian membuat surat perjanjian jual beli yang ditandatangi di atas materai. Mereka juga mengajak 2 orang yang mereka kenal untuk menjadi saksi. Jual beli telah sah, namun Ifran berjanji akan membayar uang mukanya besok pagi, paling lambat 2 hari, sekaligus membayar pinjaman yang 500 ribu dan cicilan bulan pertama. Berarti, besok ia akan membawa uang 4 juta untuk Suwarto.

Hari yang dijanjikan tiba, tapi Irfan tidak kunjung datang. Suwarto berbaik sangka mungkin ia sibuk. Ia tunggu hari berikutnya. Namun Irfan tidak kunjung datang juga. Suwarto masih menunggu kabar dari Irfan. Hari berikutnya sama juga. Suwarto coba menghubungi nomor telepon Irfan, tapi tidak bisa dihubungi. Nomor handphone yang diberikan juga selalu tidak aktif.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan pun berganti bulan. Ternyata Ifran tidak pernah datang lagi ke rumah Suwarto, bahkan tidak pernah menghubunginya lagi. Suwarto coba cari informasi ke teman-temannya. Beberapa kali ia cari alamat yang pernah ditinggali Irfan. Ia juga datang ke rumah yang ditunjukkan Irfan sebagai lokasi pembuatan kuenya, tapi tidak ada siapapun di rumah itu.

Suwarto hanya membaca istighfar dalam hati, mungkin Allah sedang mengujinya. Mobil itu mungkin juga memang bukan rejekinya. Pikirnya dalam hati. Sempat terpikir untuk melaporkan ke polisi, tapi mungkin juga tidak akan memecahkan masalah. Mungkin juga Irfan sudah tidak ada di Batam lagi. Buktinya beberapa hari lalu ada seorang temannya di Muka Kuning yang menelepon ke HP-nya, menceritakan hal yang sama dengannya. Bahwa Irfan telah meminjam sejumlah uang, namun malah sekarang tidak bisa dihubungi.

Ah, sudahlah, bukan rejeki saya, batin Suwarto. Semoga Irfan diberikan petunjuk oleh Allah dan diberi kesadaran atas khilafnya. Allah pasti akan mengganti yang lebih baik lagi.

kenangan mobil merah, yang telah menyertai kehidupan kami selama di Batam

Senin, 17 September 2007

Kami Telah Mengikhlaskannya ...

Ahmadun termasuk sosok yang sederhana namun banyak disegani orang-orang di sekitarnya. Bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta dengan penghasilan yang cukup. Namun ia selalu meunjukkan kesederhanaan dan ringan tangan. Lazimnya orang di Batam memiliki mobil sebagai sarana transportasinya. Memang harga mobil relatif murah sehingga mudah dijangkau semua kalangan. Dan memiliki mobil adalah suatu hal yang biasa, bukan mencerminkan sebuah kekayaan atau status sosial, lebih kepada kebutuhan.

Namun Ahmadun tetap saja menggunakan sepeda motornya untuk menjalani aktivitasnya. Kegiatannya yang padat memang membuthkan sarana kendaraan, namun ia memilih menggunakan sebagian penghasilannya untuk membantu sesamanya.

Ahmadun juga mengelola sebuah pengajian yang beranggotakan para pegawai, dokter dan pengusaha. Statusnya ini tidak mempengaruhi peranannya sebagai pembina pengajian. Malah para anggota pengajiannya merasa kagum dengan kepribadian dan semangat juang Ahmadun. Mereka telah menganggap Ahmadun sebagai seorang 'suhu' atau 'syaikh'tempat mereka konsultasi tentang segala sesuatu. Ahmadun selalu memberikan support, motivasi dan arahan yang bernas dan mudah mereka terima. Pemahaman Ahmadun tentang agama membuat anggota pengajiannya merasa terayomi.

Hal yang sering Ahmadun sampaikan kepada anggota pengajiannya adalah agar senantiasa memupuk rasa persaudaraan sebagai sesama umat Islam. Saling mengenal, memahami, saling bekerja sama dan saling bantu-membantu dalam segala aspek dan dalam segala keadaan. Dalam keadaan beriman, seorang saudara membantu untuk senantiasa teguh dalam keimanannya. Dalam keadaan lemah (futur) seorang saudara membantu untuk kembali kepada ajaran agamanya.

Persaudaraan juga diwujudkan dalam bentuk kepedulian sosial. Jika ada saudara yang kekurangan maka saudara yang lain membantu. Saling merasakan suka dan duka, meringankan beban saudara, menghindari prasangka buruk dan mengedepankan baik sangka dengan saudaranya. Lebih mudahnya dalam pelaksanaan bagaimana menjadkan sesama umat seagama sebagaimana keluarga masing-masing.

KOnsep ini benar-benar telah terpatri dalam diri tiap-tiap pribadi anggota pengajiannya. Setiap ada tetangga, saudara, atau kenalan yang kesusahan, mereka senantiasa membantu sesamanya.

Suatu hari Ibu Rita, yang tinggal di rumah liar kampung Sukajadi kebingungan karena anaknya yang kedua terserang demam berdarah dan dirawat di RS Otorita. Suaminya yang bekerja sebagai tukang sayur keliling itu tidak memiliki cukup uang untuk biaya perawatannya. Saat itu belum ada program askeskin seperti saat ini. Dia yang sehari-hari bekerja sebagai tukang cuci baju di komplek perumahan Sukajadi, tidak jauh dari rumahnya, harus menyekolahkan anak pertamanya di SD Negeri dan menghidupi 3 anaknya yang lain.

Teman-teman Ahmadun yang diprakarsasi oleh Arifudin, yang juga seorang dokter di RS lainnya, membantu Ibu Rita dengan mengumpulkan dana takaful. Setelah cukup uang untuk membayar biaya RS mereka mengunjungi Ibu Rita dan anaknya di RS yang terletak di Sekupang itu.

Setelah mengucapkan salam ke Bu Rita, menanyakan kabar bapaknya anak-anak, Arifudin memegang tangan Zakiya,anak yang sakit itu, memegang kepala dan melihat bagian tubuh yang lain. Ia juga memeriksa infus yang tergantung, membaca tulisannya dan menanyakan obat yang diberikan perawat.

"Insya Allah, Zakiya sudah mulai membaik. Demamnya sudah turun, nanti coba saya bicarakan dengan dokternya, biarkan disini dulu sampai sembuh total baru dibawa pulang ya Bu." katanya kepada Bu Rita. Teman-temannya memperhatikan dengan seksama.

Ibu Rita tampak hanya mengucapkan terima kasih dan berusaha menghiasi wajahnya dengan senyuman. Wanita setengah baya ini mengenakan jilbab panjang warna biru tua, gamis dan kerudungnya itu tampak juga sudah berumur tua.

Selesai itu Arifudin dan kawan-kawannya pamitan sambil meninggalkan amplop untuk Bu Rita.

"Ini sedikit dari teman-teman semoga bisa untuk beli obat, semoga Zakiya cepat pulang. Salam untuk Bapak ya Bu." ucap Hery yang menjadi ketua rombongan tersebut.

Bu Rita mengantar mereka hingga pintu, setelah mereka hilang di balik dinding RS blok depannya, Bu Rita masuk kembali ke kamar. Ia pegang amplop tersebut. Dengan rasa penasaran dan deg-degan ia coba menghitung.

"Subhanallah, 3 juta. Ini sudah lebih dari cukup untuk biaya Zakiya!. Alhamdulillah Ya Allah, engkau telah memberi jawaban doa hamba. Semoga rejeki mereka semakin bertambah dan barokah."

Bu Rita mendekati anaknya yang sedang tertidur. "Zakiya, alhamdulillah Allah menolong kita Nak, cepat sembuh ya. Dr Arif dan om-om temannya itu telah membantu kita."

Sebulan berikutnya ada kejadian lain. Kini Ahmadun yang menadaptkan musibah. Kedua orangtua Ahmadun di kampung secara bersamaan terserang penyakit yang sama. Stroke. Keduanya secara bersamaan dirawat di sebuah Rumah Sakit di kota kelahiran Ahmadun.

Dalam kekalutannya ia langsung memesan tiket tujuan Semarang. Ia ingin menemani ayah dan ibunya. Sesampai disana Ahmadun langsung ke Rs tempat ibu dan ayahnya di rawat. Tepat waktu subuh pada hari kedua ia sampai di RS itu.

Pada siang harinya, kakak perempuannya mengajak secara berbisik menyampaikan bahwa hari ini mereka harus membayar tagihan RS untuk 2 hari ini. Dan diperkirakan paling tidak ayah dan ibu mereka dirawat 3 hari lagi. Alhamdulillah gejalanya masih ringan. Sekarang kedua orangtuanya telah sadarkan diri, namun ayah mereka belum bisa bicara. Sedangkan ibunya sudah bisa bicara, namun tangan kanannya tidak bisa digerakkan.

Hari ini RS meminta deposit sebesar 3 juta untuk jaminan perawatan. Ahmadun kebingungan, di tabungannya tinggal ada uang tidak lebih dari 1 juta, dan dia juga harus membeli tiket kembali ke Batam.

Dia coba menghubungi beberapa temannya di Batam. Siang itu juga ia berhasil mendapatkan pinjaman sebesar 5 juta dari beberapa temannya. Dan uang itu segera ia berikan kepada kakak perempuannya untuk biaya keperluan perawatan orangtua mereka.

Tiga hari kemudian Ayahnya sudah boleh dibawa pulang, kesehatannya sudah membaik walaupun belum bisa bicara dengan normal. Ibunya baru boleh dibawa pulang besoknya. Menurut dokter ahli syaraf yang merawatnya, agar tangannya bisa berfungsi normal lagi harus menjalani terapi fisio, untuk melatih otot-otot tangan. Sang dokter memberikan nama beberapa ahli fisio terapi yang bisa dihubungi di sekitar tempat tinggal mereka.

Besoknya sudah boleh pulang. Semua biaya RS sudah tertutupi dengan uang yang ia berikan kepada kakak mereka. Ahmadun memang tulang punggung keluarga, sehingga sebagian penghasilannya di Batam ia kirim secara rutin ke kampung. Yang menjadi masalah sekarang adalah biaya untuk tiket pulangnya dan uang untuk ia tinggalkan bagi keluarganya.

Tidak ada langkah yang bisa ia tempuh kecuali mencari pinjaman. Ia berjanji dalam hati, dalam waktu dekat, begitu ia sampai di Batam, ia akan berusaha untuk mengembalikan pinjaman itu. Ia juga sebenarnya tidak nyaman untuk memiliki hutang kepada oranglain. Namun kondisinya seperti ini. Ia tidak ingin mengecewakan keluarganya, apalagi menambah beban kakak dan adik-adiknya.

Akhirnya ia mendapat pinjaman dari bendahara organisasi sosial yang ia menjadi anggotanya. Dengan seijin ketuanya, ia meminjam kas organisasi yang akan ia kembalikan maksimal dalam waktu 3 bulan. Sehingga dengan itu ia bisa membeli tiket pulang dan meninggalkan beberapa uantuk keperluan di rumah, membeli obat-obatan yang masih dibutuhkan dan membayar jasa fisio terapi.

Sesampai di Batam, entah dari mana mereka mengathui kejadian yang menimpa Ahmadun, Dr. Arifudin dan teman-temannya telah berkumpul di rumah Ahmadun. Mereka mengucapkan turut berduka atas sakitnya orangtua dan mendoakannya agar cepat sembuh.

Selesai berbincang-bincang, mereka berpamitan. Arifudin yang terakhir pulang menyelipkan selembar kertas di tangan Ahamdun. Ia tidak mengerti apa yang diberikan oleh Arifudin kepadanya. Baru setelah mereka semua pergi, ia membaca tulisan singkat di kertas itu,

"Maaf Ustadz, bukan kami bermaksud apa-apa kepada Ust, tapi kami juga ingin membantu Ustadz. Kami tidak sanggup menyerahkan langsung kepada Ustadz karena takut Ustadz menolaknya. Ini hasil musyawarah saya dengan istri, kami telah banyak mendapat bantuan dari Ustadz, dan saat inilah kami ingin membantu Ustadz. Insya Allah, kami telah mengikhaskannya. Semoga bermanfaat."

Tak lama berselang setelah ia membaca surat kecil itu, HP nya berbunyi. Sebuah SMS masuk dalam kotak suratnya.

"Kredit Rp. 8.000.000,- pada no rek xxxx195 tanggal 2 Sep 2006 jam 16:34:25 ..dst "

Ternyata SMS Banking yang memberitakan telah ditransfer sejumlah uang ke nomor rekeningnya. dan ia tahu siapa yang melakukannya itu.

"Subhanallah, Arifudin, semoga Allah memberkahi rejeki antum dan keluarga. Uang sebanyak itu cukup untuk membayar hutang-hutangku dan bagaimana aku harus berterima kasih kepadamu..." batin Ahmadun, sambil tak henti-henti mengucapkan syukur.

Saking terharnya, ia tak sanggup mengucapkan apa-apa kepada istrinya yang menanyakan apa yang terjadi. Air matanya meleleh membasahi pipi ketika ia memperlihatkan selembar kertas dari Arifudin dan SMS yang baru dibacanya...
()

jazakamulullah untuk someone yang telah mengikhlaskan hutang 8 juta itu ... semoga Allah membalas dengan yang lebih baik ..

Minggu, 16 September 2007

Setangkai Mawar Untukmu


Mengandung anak pertama adalah kebahagiaan yang luar biasa bagi pasangan suami istri. Demikian juga bagi Farid dan Rita. Mereka menikah hampir setahun yang lalu. Farid bekerja di sebuah perusahaan IT dan Rita sebelum menikah bekerja di sebuah perusahaan komponen elektronika di Muka Kuning.

Pernikahan mereka terbilang sangat cepat dan tidak disangka oleh teman-temannya. Bahkan teman kerja Rita pada kaget, tidak ada angin, tidak ada hujan, Rita yang terkenal pendiam, tidak pernah sama sekali terlihat dekat sama cowok, tiba-tiba menyebarkan undangan sambil ijin cuti untuk menikah.

Farid diperkenalkan oleh seorang seniornya di tempat kerja dengan Rita pada suatu kesempatan ketika ia berkunjung ke rumah seniornya itu. Rita adalah sahabat dekat istrinya. Tanpa perlu waktu lama, Farid langsung bermaksud menikahinya, dan saat itu juga menanyakan latar belakang keluarga dan bagaimana tanggapan keluarganya jika menikah dalam waktu dekat.

Rita hanya meminta waktu untuk menyampaikan hal ini kepada orangtuanya di kampung. Dan hanya dalam waktu 2 minggu kemudian mereka bertemu lagi rumah yang sama dengan perantara teman Farid tersebut. Mereka sepakat untuk menikah minggu berikutnya. Persyaratan yang diajukan Rita juga tidak memberatkan. Ia hanya meminta mahar yang menurut Farid mudah dipenuhi, tidak perlu pesta, hanya dia minta akad nikah dilakukan di rumahnya di kampung. Farid asli Mranggen, Demak. Dan Rita berasal dari Tulis, Batang. Tidak terlalu jauh jarak kampung mereka berdua.

Dan begitulah, pernikahan mereka berlangsung sederhana. Hanya ada akad nikah, dilanjutkan dengan syukuran kecil-kecilan dengan mengundang kerabat dan tetangga dekat. Tidak ada pesta, tidak ada pelaminan. Rita hanya mengenakan baju muslimah warna putih, dihias beberapa helai bungan melati di kerudungnya. Farid memakai baju taqwa warna putih dengan setelan jas warna hitam. Setelah akad nikah mereka berfoto-foto sejenak dan menemani tamu, kerabat dekat yang hadir. Farid memberikan satu stel baju muslimah yang terdiri dari gamis dengan warna kombinasi merah hati dan putih bermotif bunga-bunga, lengkap dengan kerudung, manset dan kaos kaki. Sebentuk cincin sederhana tanpa bentuk yang aneh dan beberapa buah buku Islam berukuran tebal sebagai hadiah bagi istrinya. Mereka tampak berbahagian dalam kesederhaan tersebut.

Kini telah memasuki bulan kesembilan pernikahan mereka. Rita sedang mengandung anak mereka yang pertama. Namun namanya takdir tidak ada yang menyangka. Tiba-tiba mereka mendapat kabar bahwa ayah Rita meninggal. Dan Farid sudah tidak memiliki cuti lagi. Cutinya sudah dihabiskan waktu mengurus pernikahannya waktu itu. Terpaksa Rita pulang kampung sendiri.

Karena waktu yang mendesak, Farid membeli tiket pesawat langsung ke Semarang. Harganya sangat mahal untuk ukuran mereka. Tapi demi untuk ke rumah orangtua, mereka tetap membelinya. Farid mengantar istrinya ke bandara Hang Nadim, mengurus surat pengantar dokter karena orang hamil harus mengisi surat pernyataan dulu disertai dengan surat pengantar dari dokter bandara.

Kurang lebih sebulan Rita di kampung halaman. Farid sudah dilanda kerinduan kepada istri yang sangat dicintainya itu. Hampir setiap hari ia meneleponnya, menanyakan kabar dan menjadwalkan kepulangannya.

Sebulan kemudian Rita kembali ke Batam. Namun kali ini ia tidak naik pesawat. Di samping harga tiket pesawat yang sangat mahal, juga resiko kemungkinan ia tidak boleh naik pesawat karena usia kandungannya yang sudah mendekati 9 bulan. Akhirnya ia memutuskan naik kapal Pelni. Berarti ia harus ke Jakarta dulu baru ke Pelabuhan Tanjung Priok untuk melanjutkan perjalanan ke Batam dengan kapal.

Hari itu jadwal kedatangan kapal Pelni. Pelabuhan domestik Sekupang seperti biasanya pada hari yang dijadwalkan berlabuhnya kapal Pelni, selalu sibuk. Taksi-taksi maupun mobil sewaan lain telah berjajar menunggu datangnya penumpang. Para porter juga telah siap dengan peralatan angkut mereka. Dalam hiruk pikuk seperti ini biasanya sebagian orang jahat memanfaatkannya untuk bertindak nista dengan mencopet atau menjambret barang para penjemput maupun penumpang kapal.

Farid bersiap untuk menjemput istri yang ditunggu-tunggunya. Sejak pagi dia sudah meminta ijin ke Supervisor-nya untuk keluar kantor guna menjemput istrinya. Hari ini dia berdandan istimewa. Kemarin sore ia pangkas rambut, sehingga potongannya tampak lebih rapi. Dia mengenakan kemeja panjang warna putih dan bawahan gelap. Memakai dasi bercorak gelap dengan gambar komputer yang terkesan techno-look. Dia telah meminjam mobil temannya untuk dibawa ke pelabuhan.

Sebelum berangkat dia kembali berkaca, menyemprotkan parfume Identic dengan aroma Bulgari kesukaannya. Memakai jas warna gelap yang tergantung di belakang meja kerjanya. Sesampai di receptionist ia menghampiri petugas disana dan meminta ijin mengambil setangkai bunga mawar yang baru diganti tadi pagi. Bunga warna merah itu masih segar dan memancarkan aroma harum. Resepsionis hanya tersenyum melihat tingkah Farid sambil menanyakan Farid mau kemana kok berpakaian seperti dan membawa bunga segala, seperti mau bertemu pacar.

”Aku memang mau ketemu pacarku, kok!” jawabnya singkat sambil menyebarkan senyum lalu meninggalkan mereka menuju halaman parkir mobil.

Sampai di Pelabuhan Sekupang, ia memarkir mobilnya agak jauh agar mudah keluarnya, lalu menuju ruang kedatangan. Tepat dalam waktu yang bersamaan, petugas informasi mengumumkan bahwa Kapal Pelni dari Jakarta telah berlabuh, para penumpang tujuan Batam dipersilakan keluar.

Farid menunggu di depan pintu kedatangan, tepat di depan pagar. Pandangannya disebar ke seluruh penjuru mencari sosok yang ia nantikan. Mulai dari atas kapal, buritan, sampai berjubelnya orang yang berebut menuruni tangga kapal hingga orang-orang yang berdesak-desakan keluar dari dermaga menuju pintu kedatangan.

Dari kejauhan ia mendapati sosok mungil memakai kerudung biru muda. Sebuah tas warna coklat menggantung di pundaknya. Ia tampak berjalan pelan menyusuri jalan dermaga. Beberapa kali dilalui oleh para porter yang dengan langkah cepat mengangkat barang keluar pelabuhan. Ia bersama datang bersama Ibunya Farid dan disampingnya ada beberapa orang teman Rita yang juga Farid kenal.

”Ini dia biadadariku!” pekiknya.

Tanpa ia sadari ratusan pasang mata memandangnya dari tadi. Melihat sikap dan tampilannya yang aneh, ia telah menarik perhatian banyak penjemput lainnya. Bahkan penumpang yang baru saja keluar pintu juga ikut heran. Barangkali mereka menyangka sedang ada syuting sinetron.

Begitu sampai di pintu keluar, Farid menyambut istrinya salam, istinya mencium tangan dan Farid pun mengecup kecing istrinya. Seraya ia menyerahkan setangkai bunga mawar yang ada di tangannya. Istrinya mencium bunga itu dan tersenyum sambil memeluk suaminya yang ia lihat lebih tampan dari sebelumnya. Kemudian Farid mencium tangan Ibunya dan memeluknya sambil mengucapkan selamat datang di Batam. Memang sudah direncanakan sebelumnya bahwa Ibunya akan menemani proses kelahiran anak pertamanya sekaligus tinggal di Batam beberapa bulan.

Tanpa sepengatahuan mereka, para pengunjung pelabuhan, baik penjemput maupun penumpang yang datang, telah melingkari mereka dan seperti dikomando, para pengunjung pelabuhan membuatkan jalan bagi mereka. Mereka takjub dengan pemandangan yang mereka lihat. Terpana, seakan melihat sinetron di televisi. Betapa romantis pasangan ini...

Ah! Farid telah memperlakukan wanita dengan begitu indahnya. Setangkai mawar itu telah menjadi kenangan terindah dalam hati istrinya.

Rita berjalan sambil digandeng suaminya itu, sesekali ia melihat dan mencium kembali bunga mawar di tangannya. Ditangkai mawar itu, ia temukan sebuah kata ”Untukmu!”. Sebuah kata dengan sejuta makna ()

Mendadak Nikah

Budi adalah teman sekerjaku sekaligus serumah. Kami sudah sangat akrab satu sama lain layaknya saudara. Dalam berbagai hal kami jalani bersama, berbagi cerita suka maupun duka. Budi memiliki seorang teman, sahabat karibnya yang juga akrab denganku, namanya Fajar. Sebenarnya Budi dan Fajar pernah satu sekolah, waktu SMP, namun mereka sekolah di SLTA yang berbeda dan kerja di tempat yang berbeda pula. Budi melanjutkan kuliah di Jogja kemudian diteirma di perusahaan tempatku bekerja. Fajar melanjutkan kuliah D3 di Semarang dan diterima di sebuah perusahaan komponen mikro, di Kawasan Industri Batamindo.

Fajar sering main ke rumah kami, dan kami sering bertemu dalam berbagai kesempatan. Bermain bersama, ke pantai, rekreasi ke Pulau Penyengat, salah satu peninggalan pusat kerajaan Riau yang terkenal itu, berkemah, olahraga atau acara lain. Setiap akhir pekan kalau sedang tidak ada lembur, Fajar sering main ke rumah kontrakan kami. Sebagaimana layaknya seorang sahabat, kami berbagi cerita, curhat dan kadang juga cuma sekedar menonton film bersama.

Belum lama ini Fajar tunangan dengan pacarnya yang bernama Naning. Sebenarnya mereka telah lama kenal, namun baru bertemu lagi sejak sama-sama bekerja di Batam. Budi, Fajar dan Naning dulu satu sekolah, namun bekerja di perusahaan yang berbeda dan baru bertemu lagi di Muka Kuning dalam sebuah acara pertemuan keluarga Jawa Tengah di Batam waktu halal-bihalal tahun lalu. Bahkan mereka baru sadar kalau sama-sama menjadi anggota Ikatan Warga Pekalongan. Sejak saat itu juga Fajar dan Naning bertemu lagi dan mulai dekat.

Fajar dan Naning adalah pasangan yang serasi. Meskipun berpostur agak kecil, Fajar adalah pemuda yang tampan dan cerdas. Dia juga termasuk pekerja yang sukses. Sebagai teknisi senior di sebuah perusahaan elektronik yang berpusat di Amerika, dia sudah memiliki rumah sendiri meskipun dengan KPR. Rumahnya di perumahan Marcelia, Batam Centre, sedang dalam penyelesaian. Saat ini dia masih tinggal di dormitori, Blok P bersama 4 orang teman sekerjanya. Sedangkan Naning adalah gadis yang cantik, selalu memakai kerudung simpel dengan corak cerah dan seringnya bermotif bunga. Sebagai seorang staf administrasi di perusahaan Jepang, masih di kawasan industri Batamindo. Naning juga tinggal di dormitori, di Blok N, satu blok dengan sesama pekerja di PT-nya. Keduanya berasal dari Kota yang sama, Pekalongan. Hanya berbeda wilayah. Fajar berasal dari Kauman dan Naning tinggal di Buaran.

Suatu hari Budi menceritakan masalah yang dihadapi Fajar. Naning tiba-tiba sakit. Katanya mengalami nyeri di bagian kepalanya. Sekitar pelipis, di daerah antara telinga dan matanya. Tapi nyerinya sangat sakit, Naning sampai tidak sanggup menahannya dan pernah pingsan, saking tidak kuat menahannya.

Sudah tiga hari ini Fajar menemani Naning di Rumah Sakit Harapan Bunda. Namun dokter yang merawat belum bisa melakukan identifikasi penyakitnya. Kemungkinan syaraf sekitar matanya mengalami gangguan. Memang akhir-akhir ini mata Naning selalu berair terus. Secara bergantian teman-teman serumah Naning menunggui di RS. Setiap hari Fajar selalu menjenguknya, ia kelihatan sangat sedih melihat kondisi tunangannya itu.

Pada hari kelima, dokter memberi rujukan untuk dibawa ke sebuah Rumah Sakit di Jakarta, karena peralatan di RS tidak memungkinkan untuk penyakit ini. Segera Fajar menghubungi keluarga Naning dan besok mereka akan berangkat ke Jakarta. Setalh mendapatkan surat rekomendasi dari perusahaan tempat Naning bekerja dan rujukan daari RS ini, mereka langsung berangkat dengan pesawat pertama. Kebetulan di Jakarta Fajar memiliki saudara yang bisa dihubungi dan telah siap menjemput di bandara.

Aku dan Budi tidak bisa berbuat banyak. Kami hanya bisa membantu ala kadarnya, dana yang kami kumpulkan dari teman-teman serumah dan beberapa kenalan dekat kami masukkan ke amplop dan Budi yang menyerahkan ke Fajar. Biar bagaimanapun mereka adalah sahabat dekat. Budi tampak menahan kesedihannya melihat kondisi yang menimpa sahabatnya itu. Ia memberi motivasi agar Fajar tetap tabah dan menitipkan doa dari kami semua agar Naning cepat sembuh.

Aku dan Budi ikut mengantar mereka sampai Bandara Hang Nadim. Kondisi Naning sangat lemah. Ia masih bisa berkata-kata, tapi karena rasa nyeri di kepalanya, ia hanya diam menahan sakit. Wajahnya tampak pucat karena jarang mau makan. Fajar mendorong kursi roda yang dinaiki Naning dengan hati-hati. Mereka memandang kami dengan lembut dan penuh rasa persahabatan. Aku menangkap ucapan terima kasih yang tulus terpancar dari pandangan mata mereka meskipun tidak terucap melalui mulutnya.

Beberapa kali Aku dan Budi secara bergantian memegang tangan Fajar untuk memberi semangat kepadanya dan sesekali memandang ke Naning. Naning ditemani 3 orang teman se-dormitorinya. Mereka juga selalu memberi semangat kepada Naning, salah seorang yang membawa majalah kesukaan Naning membacakan sebuah artikel untuk menghibur Naning.

Ketika mereka telah dipanggil untuk menaiki pesawat, kesedihan kami tidak tertahankan lagi. Bersamaan dengan Naning yang disalami dan dipeluk teman-temannya, aku dan Budi juga bergantian menyalami dan memeluk Fajar. Saat Budi memeluk Fajar dengan penuh rasa persaudaraan di hadapan Naning, aku tidak sanggup menahan haru. Tak terasa air hangat menetes di pipi saat melihat tiga orang sahabat itu melepas kesediahan.

”Kita adalah saudara, kamu dan Naning adalah bagian dari hidupku.. Aku hanya mengantar sampai disini, tapi doaku akan selalu menyertai kalian, salam buat Bapak dan Ibu ya.. semoga Naning cepat sembuh dan kalian cepat kembali lagi kesini..” ucap Budi kepada sahabatnya itu.

”Terima kasih Bud, kami tidak akan melupakan jasamu...doakan kami ya...” jawab Fajar dengan beruraian air mata.

Setelah itu Budi juga mengucapkan hal yang sama kepada Naning, sambil menyentuh pegangan kursi roda. Naning bercucuran air mata haru dan mengucapkan terima kasih dengan ucapan yang tidak keluar suaranya, hanya bibirnya yang tampak bergetar. Air mata ini sudah tidak sanggup ditahan, aku berusaha menyekanya sebelum mengucapkan salam kepada mereka berdua. Aku melihat tiga orang teman Naning juga menunduk menahan kesedihan.
Dua hari kemudian Fajar menelepon dari Jakarta. Kami semua sedang berkumpul di rumah. Budi yang menerima telepon itu. Fajar menceritakan keadaan Naning. Dokter sudah berhasil melakukan diagnosa. Naning terkena semacam kanker di syaraf matanya dan harus dioperasi. Namun peralatan operasi belum ada di Indonesia. Menurut dokternya, dianjurkan untuk melakukan operasi laser di singapore. Apalagi mereka tinggal di Batam, lebih dekat kesana. Yang menjadi masalah adalah biaya operasi diperkirakan mencapai 70 juta rupiah.

Menurut Fajar, sebagai seorang staf kontrak di badian administrasi, Naning belum mendapat fasilitas kesehatan yang cukup untuk operasi. Biaya maksimal yang ditanggung perusahaannya hanya maksimal 20 juta.

Kami tercekat mendengar penuturan Fajar. Kami minta waktu sebentar untuk berembug sebelum memberikan saran ke Fajar. Betapa berat cobaan yang harus dialami Fajar dan Naning. Selain menceritakan penyakit Naning, kepada Budi, Fajar juga mencritakan sikap orangtuanya yang memang sejak awal tidak begitu suka dengan kedekatan Fajar dengan Naning. Pertunangan mereka pun hanya mendapat restu setengah-setengah dari orangtuanya. Memang orangtuanya menyertai Fajar waktu itu, tapi tidak dengan sepenuh hati. Sepertinya masih ada yang mengganjal di hati mereka berdua tentang Naning. Namun kedua orangtua Naning tidak terlalu memikirkan hal itu, mereka mendukung sepenuhnya.

Beberapa saat kemudian kami berunding. Salah seorang dari kami menyarankan agar kami meminjam uang ke Bank untuk biaya operasi. Atau menjual motor, atau mencari pinjaman lain. Budi sedang memikirkan untuk melakukan penggalangan dana dan donasi sebagaimana sering dilakukan jika ada saudara yang tertimpa musibah. Apalagi dengan melibatkan Ikatan Keluarga Pekalongan yang jumlahnya cukup banyak ditambah dengan Kekeluargaan Jawa Tengah yang beranggotakan ribuan orang.

Aku memiliki gagasan lain. Setahuku perusahaan tempat Fajar bekerja adalah perusahaan paling bonafide di Batamindo. Biasanya seluruh biaya kesehatan beserta keluarganya ditanggung oleh perusahaan. Aku coba lontarkan ke Budi tentang hal itu, meskipun dengan penuh tandatanya belum mengerti arah pembicaraanku, Budi meyakinkan bahwa yang ia tahu seluruh biaya kesehatan, beserta keluarga hingga anak ketiga ditanggung oleh perusahaan. Budi ingat waktu istri Pak Zaki dirawat selama hampir sebulan, semuanya ditanggung perusahaan. Pak Zaki adalah teman sekantor Fajar. Begitu juga, rekan Fajar sesama teknisi, Arief, yang anaknya operasi juga ditanggung oleh perusahaannya.

”Fajar tidak bisa lama-lama, Naning harus segera dioperasi. Telepon dia sekarang. Bilang ke dia, nikahi Naning hari ini juga, bukankah orangtua Naning sedang di Jakarta juga? Kalau Naning menjadi istri Fajar, maka biaya operasi Naning akan ditanggung oleh perusahaan Fajar.” Ungkapku cepat dan langsung mendapat respon persetujuan dari Budi dan kedua orang teman serumahku itu.

”Apa? ... tapi coba saya rundingkan dengan Bapak-Ibu disini.” Jawab Fajar ketika mendengar saran dari kami. Dalam kekagetannya ia menerima juga saran kami itu.

Beberapa saat kemudian Fajar menelepon kami dan menyampaikan bahwa sore ini juga mereka menikah di Jakarta, surat-surat diurus oleh saudara Fajar yang kebetulan bekerja di Pemerintah Kota Jakarta Timur. Dan semunya berlalu begitu cepat. Hanya disaksikan oleh ayah Fajar, kedua orangtua Naning, paman Fajar beserta istrinya, dan dibantu oleh petugas KUA Jakarta Timur, pernikahan itu dilangsungkan. Tidak ada pesta, tidak ada baju pengantin. Bahkan mempelai perempuan sedang terbaring sakit.

Esok harinya Fajar mengontak temannya yang di HRD dan menceritakan kronologisnya. Temannya itu yang kemudian mengurus surat-surat dan keperluan lain dengan perusahaan. Bersamaan dengan itu Fajar mengurus administrasi Rumah Sakit. Hari itu juga Fajar akan membawa Naning kembali ke Batam untuk melanjutkan ke Singapore. Dokter Rumah Sakit sudah melakukan kontak dengan pihak Rumah Sakit di Singapore, lusa akan langsung dijadwalkan operasi. Berarti masih ada waktu 2 hari. Jika sore ini sampai di Batam langsung naik feri ke Singapore berarti masih ada waktu 1 hari agar Naning bisa istirahat.

Dengan pesawat garuda, siang itu Fajar kembali ke Batam. Kedua orangtua Naning, ayah Fajar dan saudaranya kembali ke daerah asalnya dan tidak menyertai ke Batam. Sekarang tugas kami untuk menjemput mereka dan langsung mengantar ke Pelabuhan Internasional Sekupang. Teman Fajar yang orang HRD itu ternyata telah mempersiapkan semuanya, mobil dari Bandara, tiket Feri termasuk tax-nya. Karena bekerja di perusahaan asing yang sering melakukan training di Singapore, Fajar dan Naning sudah beberapa kali ke negeri Singa itu.

Tidak banyak kata-kata yang terucap dalam pertemuan tersebut. Begitu pesawat mendarat, kami menunggu di ruang kedatangan, petugas telah menyiapkan kursi roda untuk Naning. Kami hanya tersenyum kecil, menyalami dan saling berpelukan.

Untuk mengurangi rasa sedih aku coba mencairkan suasana dengan mengucapkan lirih kata selamat telah menjadi pengantin baru, semoga Allah memberikan keberkahan dalam pernikahan yang tidak terduga ini. Fajar mengucapkan terima kasih tetap berusaha tersenyum. Naning pun kelihatan lebih tegar menghadapi keadaan.

”Ah.. kasihan pasangan ini, mengapa pernikahan mereka harus dalam keadaan seperti ini?” batinku.

Dengan gerak cepat kami memindahkan Naning ke mobil perusahaan Fajar yang menjemput. Dibantu seorang staf wanita dan teman Fajar yang kemudian aku tahu bernama Setyo itu langsung meminta sopir untuk segera membawa kami ke arah Sekupang karena Feri satu jam lagi. Perjalanan Nongsa-Sekupang biasanya ditempuh dalam waktu 45 menit.

Tidak banyak pembicaraan kami selama dalam perjalanan. Fajar banyak bercerita tentang penyakit Naning dan sedikit membahas betapa hebohnya mengurus pernikahan super cepat mereka. Kami semua berharap agar dengan operasi ini Naning segera bisa pulih kembali.

Tepat jam 15.00 kami sampai pelabuhan internasional Sekupang. Feri Batam Fast dijadwalkan jam 15.15 tujuan World Trade Centre (sekarang Harbour Front). Kami mengantar Fajar untuk mengurus passport dan persiapan semuanya. Nanti di WTC sudah ditunggu oleh petugas dari RS setempat. Kami kembali berpelukan dan mengucapkan selamat jalan kepada Fajar dan Naning. Keharuan kembali melanda, kami.

Sejenak kami melihat saat Batam Fast melaju meninggalkan Sekupang. Aku dan Budi berpamitan kepada Pak Setyo yang kemudian pulang dengan mobil perusahaan yang membawa mereka. Sebenarnya kami ditawari untuk pulang bersama, tapi kami beralasan akan mampir ke tempat kerja kami dulu yang tempatnya tidak jauh dari pelabuhan.

Menjelang operasi, Fajar menghubungi Budi. Ia meminta doa semuanya untuk kesembuhan Naning. Kami semua mengangguk, meskipun Fajar tidak melihatnya. Dalam hati aku berdoa, semoga Allah memberikan yang terbaik untuk Naning dan Fajar, agar mereka segera menikmati hari-hari indah pernikahan mereka.

Kami semuanya mengucapkan syukur ketika mendengar operasi berjalan lancar. Tidak terlalu sulit pelaksanaannya karena operasi dilakukan dengan teknologi sinar X. Jadi tidak ada pisau operasi dan ruang operasi yang menyeramkan. Semua dilakukan dengan teknologi canggih. Selesai operasi, Naning menjalani perawatan beberapa hari dan kata dokter setempat 3 hari berikutnya sudah boleh dibawa pulang.

Dengan sukacita kami menyambut kedatangan Fajar dan Naning kembali di Pelabuhan Sekupang. Sekarang Naning sudah bisa tersenyum. Wajah anggunnya telah kembali dengan senyum manisnya. Kecantikan alami seperti gadis Jawa pada umumnya. Meskipun masih tampak sedikit pucat, Naning tetap kelihatan manis. Fajar yang mendampinginya juga sudah bisa tersenyum lebar. Mereka terlihat bergandengan tangan saat meninggalkan pelabuhan, masuk ke dalam mobil yang telah kami sewa. Kami menyewa mobil kijang untuk menjemput mereka agar cukup lega dan bisa membawa barang-barang perlengkapan mereka.

Kami menuju rumah Fajar yang telah selesai direnovasi. Selama hampir 2 minggu ditinggalkan Fajar, ternyata dia selalu memotir renovasi rumahnya, saat ini telah siap ditempati. Tanpa sepengatahuan mereka aku dan Budi telah menyiapkan syukuran kecil-kecilan, untuk kesembuhan Naning dan merayakan pernikahan mereka. ()

Jumat, 14 September 2007

Pulsa Gratis 3 Detik (Kenangan Bersama PMI)

Mereka ada 10 orang. Enam orang cowok dan 4 cewek dan berasalah dari tempat yang berbeda-beda. Ada yang dari Jawa dan ada yang dari Sumatera. Sekolahnya pun berbeda-beda, ada yang dari STM ada yang dari D3 dan ada yang S1. Entah mengapa mereka mendapat tempat magang di Batam. Dijadwalkan mereka selama setahun akan magang di perusahaan telekomunikasi ini. Istilahnya Program Magang Indosat (PMI).

Aku cukup akrab dengan mereka. Beberapa kali kami makan bakso bersama di warung bakso Pak Dhe, Tiban BTN. Aku menyebut mereka anak kost, walaupun mereka tinggal di asrama tapi kehidupan mereka layaknya anak kost.

Salah seorang dintaranya bernama Rofi, pemuda ganteng yang supel dan cerdas. Ia magang di bagian pemasaran. Ia sering menyampaikan presentasi tentang program pemasaran di hadapan para eksekutif. Cara bicaranya lugas dan menunjukkan jiwa inteleknya. Aku sangat terkesan dengan kemampuannya mengolah data dan memaparkan dalam sebuah presentasi.

Seorang lagi yang cukup akrab denganku, asli Purwokerto. Sebut saja Joko. Hobinya membaca komik dan suka mendengarkan cerita. Yang lebih kecil anak-anak STM itu sikapnya lebih menunjukkan keremajaannya.

Masih terkenang suatu hari, saat bulan Ramadhan. Kami mengadakan buka puasa bersama di sebuah panti asuhan. Sepulang dari acara kami semua naik 1 mobil, lalu kami tarawih bersama di mushola kantor. Selesai tarawih kami semua jalan-jalan ke nagoya untuk makan tahu tek bersama-sama.

Ada yang malu-malu. Ada yang cuek. Ada yang pura-pura diam, ada yang langsung embat. Yah, namanya juga anak kost.

Ada kebiasaan menarik yang mereka lakukan. Karena waktu itu masih ada promosi gratis bicara 3 detik pertama untuk pemakaian kartu pra bayar, maka mereka memanfaatkan fasilitas tersebut dengan baik. Kalau melakukan percakapan telepon mereka atur sedemikian rupa hingga tidak sampai 3 detik bicara. Jadi setiap satu atau 2 kata langsung ditutup dan lawan bicaranya juga menjawab dengan singkat langsung ditutup. Persis seperti menggunakan handytalky.

Irfan : "lagi dimana?"
Ving : "simpang jam"
Irfan : "Mau kemana?"
Ving : "sekupang"
Irfan : "Sama siapa"
Ving : "Mbak Rina"

begitu seterusnya, jadi pulsa mereka tidak terpotong, karena percakapnnya tidak sampai 3 detik.

Pada kesempatan lain ketika Rina dan Rofi janjian,
Rina : "dah dimana?"
Rofi : "Batam centre"
Rina : "Belah mana?"
Rofi : "Barata"
Rina : "aku kesana"
Rofi : "sama siapa?"
Rina : "Joko"
Rofi : "tak tunggu"

Wah jadi rusak deh teknologi. Seharusnya GSM didisain untuk pembicaraan 2 arah, tapi digunakan untuk satu arah, tidak sesuai dengan rancangan awalnya. Aku yang paling sering meledek mereka dengan istilah merusak teknologi. Namanya juga anak kost.

Acara yang paling mereka sukai adalah ditraktir. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka, aku sering ditodong untuk mentraktir mereka bakso, mie ayam atau apa saja. Karena kantong pas-pasan, aku mentraktir mereka secara bergilir. Kadang 2 orang, 3 orang secara bergantian. Sehingga dalam 2 bulan masing-masing pernah sekali aku ajak makan bersama.

Yang paling kasihan adalah Arif, karena dia yang paling muda. Di tempat kerja ia hanya mendapat tugas sederhana: membeli gorengan. Biasanya teman-teman karyawan mengumpulkan uang 1000 atau 2000an lalu mengumpulkannya dalam sebuah kotak. Setiap hari yang dibutuhkan kami biasa membeli makanan kecil, misalnya gorengan. Dan Arif selalu kebagian jatah untuk pergi membelinya. Namanya juga anak kost.

Sekarang mereka semua telah bekerja. Ada yang menjadi karyawan, pengusaha, guru, dosen, ibu rumah tangga dan kepala kantor. Kenangan bersama ini takkan pernah terlupa.()

to All PMI Batam : gimana kabarnya?

Kamis, 13 September 2007

Kisah di Ruang Mawar II

Om Slank meneleponku ketika aku masih di temapt kerja. Katanya Mas Siswo sakit, tiba-tiba muntah-muntah terus dan badannya lemah. Aku diminta segera pulang. Biasanya aku pulang menjelang malam. Namun karena telepon Om Slank aku memutuskan segera pulang. Aku menitip pesan ke meja kerjanya Budi memberitahukan tentang sakitnya Mas Siswo. Budi masih di luar kantor, kunjungan ke customer. Aku segera memacu sepeda motor menuju tempat tinggal kami.

Sampai di rumah, di kawasan Batam Centre ini, aku langsung menemui Mas Siswo yang sedang dipijat oleh Om Slank. Kondisinya sangat lemah. Aku khawatir terjadi apa-apa maka aku bilang ke Om Slank kalau Mas kita bawa ke rumah sakit saja. Aku pinjam mobil Pak Suryo untuk mengantar Mas Siswo ke Rumah Sakit.

Tiba di rumah sakit Harapan Bunda, kami segera mendaftar ke ruang registrasi. Perawat menyambut dengan ramah dan senyuman hangat. Setelah mendata mereka mempersilakan kami menunggu. Tidak berapa lama dokter memanggil kami masuk. Mas Siswo positif malaria dan harus dirawat. Setelah mendapatkan kamar, aku meminta Om Slank pulang dulu naik taksi mengambil pakaian ganti dan kesini naik motor saja.

Hampir 2 minggu Mas Siswo dirawat di Ruang Mawar II rumah sakit ini. Di ruang ini ada 4 orang pasien. Rata-rata seorang pasien dirawat 2-3 hari lalu dibawa pulang., Hanya kami yang bertahan cukup lama disini dan ada seorang pasien lagi, seorang gadis, karyawan PT Astra yang dirawat di sebelah Mas Siswo, namanya Hartini. Ia sakit tipus. Usianya kurang lebih 20 tahun dan belum ada setahun kerja di Batam.

Karena sama-sama menunggu pasien dan tiap hari bertemu, kami menjadi akrab satu sama lain. Hartini ditunggui secara bergantian oleh teman-teman se-dormitori-nya. Mereka tinggal di salah satu blok di Blok R Lantai 3, kawasan industri Batamindo, Muka Kuning. Satu rumah dihuni 12 orang, mereka semua 1 angkatan, rekrutan dari Jogja, tapi asalnya ada yang dari Sleman, Gunungkidul, Bantul dan Jogja. Karena kerjanya sistem shift, mereka juga menunggui Hartini sesuai shift-nya. Sedangkan aku dan Om Slank hanya berdua bergantian menunggu. Budi sesekali datang tapi jarang menginap. Kalau aku dan Om Slank tiap hari bermalam disini. Pagi hari aku ke tempat kerja dan waktu makan siang aku ke RS untuk menyuapkan makan Mas Siswo dan meminumkan obat. Om Slank biasanya menunggu sambil istirahat di koridor RS. maklum, malam harinya dia harus narik ojek.

Kami jadi mengenal semua anggota rumahnya. Ada yang namanya Susi, Rani, Ratih, Fitri, Wulan, Siti dan Dewi. Yang lainnya aku lupa namanya. Kami menjadi akrab. Mereka kerap membawakan makanan untuk kami. Rani yang paling sering membawakan makanan. Kadang membawakan bubur untuk Mas Siswo, kadang membawa nasi goreng untuk Om Slank dan untukku.

Pernah suatu hari Mas Siswo tidak mau memakan makanan yang disediakan RS, mual dan sering muntah lagi. Rani langsung punya ide besok mau dibuatkan bubur saja dari rumah. Benar, esoknya Rani membawa bubur untuk Mas Siswo dan nasi gudeg untukku dan Om Slank.

Pada hari ke-6 di RS ini, Mas Siswo dipindahkan ke kamar Mawar I, ruang kelas I yang berisi 2 pasien. Kebetulan ruang sebelahnya masih kosong, sehingga aku dan Om Slank bisa lebih leluasa menjaga Mas Siswo. Di kamar sebelah Fitri yang sedang bertugas menjaga Hartini. Ini adalah malam terakhir Hartini dirawat karena besok sudah boleh pulang. Sebelum adik-adik Jogja ini pada pulang, kami sempat mengobrol cukup lama di koridor dan mereka berjanji akan sering menjenguk kesini sampai Mas Siswo sembuh. Dan mereka juga menawarkan untuk mampir ke dormitori mereka, nanti setelah pulang dari sini.

Hingga Hartini sembuh mereka tetap hampir tiap hari ada yang datang menjenguk kami. Dan keakraban kami berlanjut. Setelah Mas Siswo diperbolehkan pulang, kami pun sempat beberapa kali main ke dormitori mereka. Kami memanggil mereka adik-adik. Kadang memanggil dengan panggilan Nok, Nduk dan lainnya panggilan Jawa yang sudah umum. Memang usia mereka rata-rata 20-an tahun. Beberapa tahun lebih muda dari kami.

Sejak saat itu kami sering datang ke Blok R itu. Kadang bertiga, kadang juga berdua, sama Om Slank atau sama Mas Siswo. Biasanya awal bulan kami datang main kesana. karena habis gajian jadi bisa membeli sesuatu untuk oleh-oleh. Mereka juga sering membuatkan masakan sederhana tapi istimewa, seperti sayur asam, gudeg dan soto. Kami hanya sering bercerita tentang pekerjaan dan saling menitip oleh-oleh kalau ada yang pulang.

Sayang kontrak mereka tidak lama. Hanya 1,5 tahun menjadi operator mesin di PT AIT dan setelah itu mereka tidak memperpanjang kontrak lagi. Katanya mereka ingin bekerja di kampung saja, dekat dengan orangtua dan keluarga.

Sejak saat itu kami kehilangan kontak dan belum pernah bertemu lagi dengan adik-adik Blok R ini. ()

adik-adik blok R : terima kasih gudeg dan sayur asamnya...

Tapi, Putri Terlanjur Cinta Sama Bapak

Orang bilang cinta tidak memandang usia dan status. Cinta juga kadang datang tak terduga, dimana dan kapannya. Inilah yang dialami Pak Priyo. Nama lengkapnya Priyo Sasongko. Seorang guru BP di sekolah swasta di Batam.

Selain menjadi guru BP di SLTA tempat ia mengajar sekarang. Priyo juga aktif di beberapa kegiatan ekstra kurikuler. Diantarnya dia pembimbing band, pembina pramuka dan juga Paskibra. Usianya memang belum terlalu tua. Masih muda malah. Baru memasuki kepada tiga. Tapi dia sudah memiliki istri dan 2 orang anak yang lucu-lucu.

Pada suatu hari dia menangani kasus seorang pelajar putri yang terlibat narkoba. Karena ia guru BP maka ia yang lebih banyak memberikan konseling dan pengarahan kepada siswinya itu. Namanya Ratri. Anak orang kaya di kota ini. Namun karena mungkin kurang kasih sayang dan salah pergaulan maka Ratri menjadi seperti ini. Ia ditemukan mengkonsumsi narkoba di belakang kantin sekolah.

Masalahnya sudah diselesaikan dengan pihak kepolisian. Dengan pertimbangan masih harus menyelesaikan pelajaran dan dengan jaminan dari orangtua dan gurunya, Ratri hanya dihukum percobaan beberapa hari dan dikembalikan ke sekolah.

Priyo adalah guru yang baik dan mengerti tentang psikologi siswa. Ia melakukan pendekatan dengan sangat baik, melakukan pendampingan dan pengarahan kepada Ratri. Tiga bulan sejak kejadian itu, Ratri sudah kembali hidup normal dan bisa membebaskan diri dari pergaulan yang salah itu. Ia bahkan sudah mulai aktif di beberapa kegiatan ekstra dan OSIS. Ia lebih bersemangat dalam melanjalani kehidupan belajarnya. Ia banyak membantu kegiatan sosial yang dilakukan OSIS dan ayahnya selalu membantu apapun yang diinginkan putrinya itu. Pernah suatu hari OSIS akan mengadakan baksos ke salah satu Pulau di dekat Galang. Mereka tidak mendapatkan mobil untuk transportasi. Ratri menceritakan kepada ayahnya dan spontan ayahnya berjanji menyediakan mobil ke Pulau Galang sekaligus speed boat untuk menuju pulau itu, pulang pergi.

Pernah juga Paskibra mau mengadakan acara ramah tamah dengan anggota baru, begitu tahu pembimbing Paskibra adalah Pak Priyo, ayah Ratri menyatakan akan membantu apapun yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut. Waktu itu ia menyediakan vila-nya yang ada di daerah Sekupang untuk dijadikan tempat kegiatan.

Pengalaman lain yang tidak pernah dilupakan Priyo adalah ketika ada seorang siswi yang menghadap kepadanya. Namanya Putri. Ia anak kurang mampu. Ibunya seorang janda, sudah cukup tua, Ayahnya sudah lama meninggal dunia. Ia menceritakan kondisi keluarganya dan kondisinya selama ini yang mencukupi kebutuhan sekolahnya dengan berjualan kue di sekitar Dormitory dan PT di Muka Kuning. Kebetulan ia tinggal di kampung rumah liar di luar kawasan Batamindo itu.

Ia sangat terharu mendengar cerita salah satu muridnya itu. Dan sejak saat itu mereka sering bertemu. Priyo sering memberikan bantuan untuk beli buku dan membantu melunasi biaya sekolah kalau Putri terlambat membayarnya. Priyo beberapa kali datang ke rumah Putri dan memang melihat kondisi yang memprihatinkan. Ibunya merasa sangat senang dikunjungi oleh guru sekolah anaknya. Priyo sering bercerita dengan ibunya, ia memperlakukan ibu Putri dengan penuh sopan. Usianya hampir sama dengan usia ibunya di kampung halaman.

Tepat menjelang kelulusan. Priyo mendapat SK mutasi ke sekolah lain. Ia diangkat menjadi kepala sekolah di sebuah SMP di kota kecil di Kepulauan Riau. Bersamaan dengan upacara kelulusan ia berpamitan kepada anak-anaknya. Hampir semua murid terutama kelas 3 terharu mendengar akan ditinggalkan guru BP yang mereka sayangi itu. Bagi mereka Pak Priyo bukan hanya guru, namun juga seorang sahabat tempat curhat dan teman untuk bersantai. Beberapa siswa putri sampai menangis mendengar Pak Priyo akan meninggalkan mereka. Apalagi Ratri dan Putri. Ratri sampai berlari masuk ke ruang kelas dan menangis dengan keras disana. Putri masih cukup tegar, namun terlihat ia dengan susah payah menahan airmatanya.

Selesai bersalam-salaman dengan para guru dan staf sekolah, Priyo bersiap pulang. Di depan gerbang sekolah Putri menghampirinya dan menitipkan sehelai kertas. Putri kemudian berpamitan dan beberapa kali melihat ke belakang menatap Bapak Gurunya itu.

Sebelum menaiki sepeda motornya, Priyo membaca surat kecil dengan tulisan tangan rapi yang dibuat oleh muridnya itu:

Bapak yang Putri hormati,
Kenapa Bapak harus pindah? Tanjung Batu itu jauh, terpisahkan lautan.
Kita mungkin tidak akan bertemu lagi. Setelah lulus Putri ingin bekerja, mungkin akan mencari kerja di sini saja untuk membantu Ibu dan adik-adik.
Bagaimana putri bisa mengungkapkan perasaan ini. Putri terlanjur menyimpan Bapak dalam hati ini.

Mungkin ini sesuatu yang tidak lumrah terjadi. Putri tahu Bapak sudah punya anak istri. Putri juga tidak mau mengkhianati ibu-nya anak-anak.
Tapi Putri tidak bisa mengingkari hati ini.
Semoga suatu saat kita bisa dipertemukan lagi.

Salam,
yang mencintaimu, wahai Bapak,
Putri


()

Om Slank Sang Tukang Ojek

Nama aslinya jarang ada yang kenal, namun kami biasa memanggilnya Om Slank. Usianya beberapa tahun lebih muda dariku. Om Slank pernah menumpang menginap di rumah kami untuk beberapa waktu sebelum dia pindah ke rumah kontrakannya. Pekerjaan sehari-harinya menarik ojek. Kadang-kadang menerima order menjadi kurir untuk mengantar surat, dokumen atau barang dalam kota, kadang juga menerima order untuk pembayaran tagihan telepon, listrik, pengurusan KTP, STNK dan lainnya. Pokoknya dia selalu bersedia untuk melakukan tugas apapun yang halal.

Sebagaimana panggilannya, penampilan om Slank bisa ditebak, potongan rambut yang berurai panjang, baju kaos dan celanan jins butut. Itulah tampilan kesehariannya. Sebagai tukang ojek dia berinteraksi dengan berbagai tipe orang. Mulai dari pekerja, karyawan pabrik, ibu rumah tangga yang minta diantar pergi ke pasar, para pedagang dan juga -maaf- wanita yang bekerja di temapt-tempat hiburan.

Kami mengenal Om Slank sebagai orang yang baik. Meskipun latar belakang keluarganya kurang begitu harmonis. Kakaknya katanya seorang preman yang sering beroperasi di terminal di pasar kampungnya. Adiknya juga tidak jauh berbeda. Meskipun adiknya punya keahlian sebagai tukang kayu, namun adiknya ajrang berangkat kerja. Ia lebih senang mangkal di jalanan. Orangtuanya juga tidak harmonis lagi.

Namun dari ceritanya, kami berkesimpulan Om Slank adalah orang yang berbakti kepada orangtua. Dan ini dibuktikan hampir setiap bulan, dari hasil menarik ojek dan perkejaan lainnya selalu disisihkan secara khusus untuk dikirim kepada ibunya di kampung. Om Slank juga orang yang ringan tangan. Tetangga-tetangga sering meminta bantuan untuk melakukan suatu pekerjaan, apapun itu, dia selalu melakukan. Bahkan dia kadang-kadang tidak mau menanyakan apakah dapat imbalan atau tidak.

Suatu hari ketika terjadi kerusuhan di kota ini, waktu itu ada kerusuhan yang cukup menggemparkan. Konflik antar beberapa suku yang membuat kota Pulau ini mencekam. Semua ornag lebih memilih tinggal di rumah. Bentrokan terjadi dimana-mana. Bahkan kabar tentang terjadinya pembunuhan di suatu tempat beberapa kali terdengar. Sampai jam 9 malam Om Slank belum pulang. Kami semua was-was dengan keadaannya. Kami khawatir sesuatu menimpanya.

Kami tidak bisa menghubunginya karena dia tidak memiliki HP. Kami coba telepon ke beberapa orang langganannya, mereka semua menjawab tidak tahu. Ada yang hanya bilang tadi sore sempat bertemu di pasar pagi tapi tidak tahu sekarang dimana. Kami coba hubungi ke beberapa tempat yang biasa dia mangkal, di hotel, kafe atau warung tempat dia pernah mangkal mencari penumpang.

Semakin malam kami semakin panik. Kami tidak tahu harus berbuat apa-apa lagi. Meskipun kami tidak ada hubungan darah, namun Om Slank sudah menjadi bagian dari hidup kami, penghuni rumah ini. Kami hanya bisa pasrah dan berdoa semoga ia diberi keselamatan.

Jam 22 kurang, telepon rumah kami berdering. Aku segera menghampirinya. Ada perasaan was-was dan deg-degan. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan Om Slank dan ini telepon dari kepolisian atau rumah sakit. Sambil menahan perasaan seperti itu, aku coba menata nafas dan mengangkat telepon.

"Assalamuálaikum" terdengar suara dari seberang. Suara Om Slank. Aku sedikit lega mendengar suaranya. Setelah menjawab salamnya kami menanyakan keberadaan dan juga keselamatannya. Aku bilang segera pulang kami cemas menunggu Om Slank. Dia malah asyik bercerita kalau tadi di jalan ada seorang sopir taksi dari suku tertentu yang dihadang oleh orang dari suku lain yang sedang bertikai. Sopir taksi tersebut dikeroyok dan mobilnya dibakar. Kami semakin seram mendengar ceritanya. Dia bahkan cerita kalau tadi dijalan yang ia lewati ada sekelompok orang yang melakukan operasi KTP. Jika diketahui ada orang yang ber-KTP dari kota-kota suku tertentu langsung ditawan. Berkali-kali aku katakan agar Om Slank segera pulang, nanti cerita di rumah saja.

Seakan-akan tidak ada masalah apa-apa dia tetap bersikukuh masih mau narik lagi. Dia memang sering narik ojek sampai malam. Sering ia pulang lewat dari jam 12 malam. Alasannya karena penumpang malam hari memberi ongkos yang lebih banyak. Aku bilang narik ojeknya diterusin besok saja. Akhirnya setelah aku desak terus dia bersedia pulang dan akan mampir membeli gorengan dulu. Aku lega mendengarnya, sambil aku bilang tidak usah mampir-mampir, dia sudah keburu menutup teleponnya.

Om Slank juga orang yang pemurah. Bukan sekali itu saja dia pulang membawa oleh-oleh buat kami yang di rumah. Oh Iya kami tinggal di rumah berempat termasuk Om Slank. Ada saudarku yang tinggal di rumah ini dan seorang teman sekerja yang tinggal bersama. Kami masing-masing punya sepeda motor untuk transportasi ke tempat kerja masing-masing. Motor Om Slank adalah motor sewa, setiap bulan ia menyetorkan ke pemilik motornya. Hampir setiap hari Om Slank selalu membawa sesuatu dibawa pulang ke rumah. Kalau tidak minuman dingin, softdrink, gorengan, buah-buahan bahkan kalo hasil tarikannya sedang banyak dia membawa pulang sate untuk dimakan bersama.

Suatu hari Om Slank menyampaikan keinginannya untuk membeli motor sendiri. Agar tidak setiap bulan menyetorkan uang sewa. Padahal uang sewa motor hampir sama untuk membayar cicilan jika mengambil motor di dealer. Namun yang menjadi masalah adalah darimana mendapatkan uang sewanya. Kami berempat berembug tentang masalah ini. Semuanya setuju kalau Om Slank punya motor sendiri. Dia ternyata sudah mempersiapkan sebuah brosur dari dealer motor. Perlu uang muka minimal 3 jt untuk mengambil motor Honda seperti yang diinginkan. Aku coba memecahkan masalah dengan mengumpulkan semua uang dan tabungan yang kita miliki untuk dijadikan uang muka motor.

Om Slank sudah mengumpulkan uang 1,2 jt. Aku punya 500rb. Budi, teman sekerjaku juga masih punya simpanan, dan menyumbang 500rb. Mas Siswo punya 300rb. Kurang 500rb lagi. Aku berjanji untuk meminjamkan uang ke Pak Suryo, tetangga kami yang terkenal baik hati. Aku langsung menelepon ke rumah Pak Suryo. Setelah menceritakan kejadiannya, beliau bersedia meminjamkan Om Slank 500rb, bebas dibayar kapan saja kalau sudah ada. Dan malam itu juga Om Slank disuruh datang mengambil. Sudah mencukupi. Esok harinya Om Slank pergi ke dealer dan membawa pulang motor yang didinginkan.

Setahun lebih lamanya Om Slank tinggal di tempat kami sebelumnya akhirnya pindah dan mencari rumah kontrakan sendiri. Masih sering ia datang menjenguk kami dan dengan kebiasannya, kaos oblong bergambar rocker, jacket butut, celana jins yang sobek sana-sini, naik motor Astrea Grand-nya yang meskipun bekas tapi belum lama diambil dari dealer. Motornya sudah ditempel beberapa stiker disana-sini dan terkesan nyentrik. Kami yakin yang menggantung di stang itu adalah bungkusan berisi gorengan. Begitu ia menghentikan motornya kami langsung tertawa bersama dan makan gorengan bawaannya itu di halaman rumah ini.

Sudah lebih dari 5 tahun kami tidak bertemu dengan Om Slank lagi. Kabarnya sekarang sudah menikah dengan seorang gadis dari Sumatera Utara. Tapi kami tidak tahu pasti, karena sejak pindah tugas ke kota lain, aku belum pernah bertemu dengannya lagi.()


Salam kangen buat Om Slank, kapan kita makan gorengan lagi?

Vina, Kapan Engkau Kembali?

Wajahnya cantik. Dengan balutan jilbab lebar, Vina menjadi pusat perhatian diantara teman-temannya. Vina bekerja sebagai seorang operator mesin di perusahaan asing, di komplek industri Muka Kuning. Aslinya dari Ranah Minang, dan hampir 5 tahun ini merantau di Batam.

Selain bekerja, Vina memiliki aktivitas yang cukup padat. Pengajian rutin mingguan yang ia lakukan dengan bimbingan Umi Farhan, Ibu muda yang rajin mengelola pengajian. Vina juga aktif di organisasi remaja masjid Nurul Islam, lembaga dakwah muslimah dan bergabung dalam sebuah kelompok pecinta alam. Ia pandai mengaji, mengelola majelis taklim, rohis, dan mengajar di TPA. Ia juga sering mengisi kajian-kajian muslimah di lingkungan PT maupun di luar Muka Kuning.

Sebenarnya teman-temannya khawatir dengan bergabungnya Vina dalam kelompok pecinta alam ini. Selain padatnya acara yang telah ia lakukan, masalah utama adalah kesehatannya yang mengkhawatirkan. Dua tahun lalu ia pernah menjalani operasi jantung dan setelah itu kadang-kadang penyakitnya itu sering kambuh. Anehnya sejak ia bergabung dengan kelompok PA ini dan sering mengikuti kegiatan outdoor malah justru ia jarang mengeluhkan penyakitnya itu.

Teringat waktu mau operasi kami semua bingung harus bagaimana. Kondisinya sudah harus dioperasi namun kami semua yang menjadi teman dekatnya kebingungan mencari biaya operasi. Untuk mengumpulkan uang puluhan juta dari karyawan PT seperti kami adalah hal yang sangat berat. Gaji kami hanya cukup untuk menjalani hidup di kota yang serba mahal ini, bahkan untuk mengirim ke kampung halaman dan menabung, kami harus menyisihkan dari gaji kami atau kami harus merelakan waktu untuk kerja lembur lebih banyak lagi. Sedangkan bantuan dari perusahaan tidak mencukupi biaya operasi dan pengobatan di Jakarta. Operasi jantung hanya bisa dilakukan di ibukota atau di Singapore sekalian. Untuk ke negeri tetangga itu biayanya jauh lebih besar lagi.

Salah satu diantara kami yang kebetulan Ketua Majelis Taklim perusahaan kami berinisiatif untuk menggalang dana. Kami semua aktivis Majelis Taklim (MT) menjadi inisiator sekaligus relawan. Di mulai dari jamaah MT, ke karyawan lainnya bahkan sampai ke MT perusahaan lain dan kelompok-kelompok pengajian lain. Kami terkejut ketika dalam 2 hari sudah terkumpul cukup banyak uang. Kami sendiri kaget menghitungnya. Semuanya terkumpul hampir 20 juta rupaih. Sebuah nominal yang fantastis menurut kami. Kami merasa ini jumlah yang lumayan untuk membantu biaya operasi Vina.

Semuanya berjalan lancar, Vina sudah kembali lagi bekerja dan melakukan aktivitasnya.

Beberapa kali Vina menyertai kegiatan outbound yang kami lakukan. Bersama para peserta akhwat lainnya, ia mengikuti semua agenda acara. Bahkan ia termasuk yang menunjukkan bakat untuk menjadi asisten pelatih bagi saya. Di tim kami ada 10 orang ikhwan dan 10 akhwat asisten pelatih, salah satunya Vina.

Beberapa kegiatan kami lakukan bersama-sama. Mulai dari long march, camping, outbound, jelajah hutan, lomba lintas alam dan kegiatan PA lainnya. Jumlahnya tidak terhitung lagi. Hampir 4 tahun kami bersama-sama.

Pernah suatu hari Vina dan beberapa tim akhwat kami ikut sertakan dalam lomba lintas alam antar PA. Pesertanya dari berbagai kelompok PA baik umum, pelajar maupun mahasiswa. Entah bagaimana kejadiannya setengah dari seluruh peserta tersesat di hutan belantara. Hingga malam menjelang mereka belum sampai finis. Padahal prediksi panitia paling lambat jam 3 sore seluruh peserta sudah mencapai titik akhir. Kelompok Vina termasuk peserta yang tersesat. Percakapan terakhir yang saya lakukan dengannya mengatakan kemungkinan ada yang merubah arah penunjuk jalan. Setelah itu tidak ada percakapan lagi. HP mereka tidak ada yang bisa dihubungi.

Salah saorang panitia yang aku kenal menghubungiku setelah magrib. Ia meminta saya ikut melakukan evakuasi dan pencarian peserta yang hilang. Dengan bergegas saya menuju lokasi. Kami ada berlima, salah satunya seorang pelajar. Yang lainnya ada dari SAR Otorita Batam dan pembina pramuka. Kami menyusuri hutan malam itu dengan penerangan seadanya. Bahkan sepatu yang saya pakai sampai rusak sama sekali, saya akhirnya berjalan tanpa alas kaki.

Tanpa merasakan rasa sakit di kaki, kami terus berjalan. Setelah hampir 2 jam kami berjalan, kami menemukan tanda berupa api yang dinyalakan mereka. Setelah mendekat ternyata benar itu mereka. Salah satu peserta itu ada yang masih dapat sinyal dan langsung menghubungi kami. Kami bilang tetap di tempat dan terus upayakan nyalakan api, saling mendekat dan saling menghibur. Kami segera sampai.

Ternyata tempat kami dengan mereka terpisahkan sebuah sungai yang cukup lebar. Perjalanan kami terhenti. Tidak ada daratan yang bisa kami selusuri untuk sampai kesana. Akhirnya kami menghubungi pos utama SAR Batam, meminta dikirim speed boat untuk evakuasi mereka. Dan dalam waktu 1 jam berikutnya speed boat datang. Per kelompok peserta dievakuasi dengan speed boat dan terakhir kami ikut speed itu keluar.

Suami Umi Farhan telah menunggu dengan mobil untuk mengantar Vina dan teman-teman pulang. Setelah kami antar pulang kami semua kembali ke rumah amsing-masing.

Selama ini kami memiliki kenangan yang indah bersama teman-teman PA, termasuk dengan Vina. Kami semua sudah seperti saudara. Setelah satu persatu diantara kami akhirnya menikah, dengan pasangan masing-masing, kami tetap menjalin komunikasi dan hanya beberapa akhwat yang masih bisa mengikuti kegiatan ini.

Kami merasa bukan hanya kepentingan kelompok PA yang kami bawa. Ini adalah kepentingan yang lebih besar lagi. Dalam kelompok PA ini kami membawa, melaksanakan dan mengajarkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Dalam interaksi kami, sangat dijaga batas-batas komunikasi antar ikhwan dan akhwat. Dalam pertemuan rapat kami memakai hijab. Dalam perkemahan kami juga membuat camp dalam jarak yang cukup dan dalam jumlah yang banyak. Kami berusaha menjaga hijab dengan baik.

Adab dan tata krama Islam kami bawa serta dalam setiap kegiatan. Sholat berjamaah di awal waktu, membaca Al Quran, sholat malam adalah aktivitas utama dalam setiap kegiatan kami. Kami sudah sepakat bahwa kami berdakwah melalui kelompok PA ini.

Hingga suatu hari Vina memiliki masalah. Kami sendiri tidak mengerti tentang hal itu, yang kami tahu Vina mulai jarang mengikuti kegiatan. Kabar yang kami terima ia punya masalah dengan salah seorang teman pengajiannya, kemudian kekecewaannya ia tunjukkan dengan tidak menghadiri pengajian rutin mingguan. Hal ini sangat prinsip menurut kami, karena pertemuan ngaji mingguan adalah sarana utama kami untuk menuntut ilmu dan menjaga ruhani kami.

Perkembangan selanjutnya sungguh memprihatinkan. Vina sudah mulai jarang berinteraksi dengan kami, tidak pernah datang pengajian apalagi mengisi ceramah. Dari temannya kami mendengar jilbabnya sudah tidak panjang lagi, istilahnya jilbab gaul, kami cukup prihatin meskipun masih bersyukur ia tetap memakai jilbab. Apalagi ketika kami tahu ia sudah melupakan batas-batas interaksi laki-laki dan perempuan. ia sudah mulai suka berboncengan dengan lawan jenis. Kami cukup prihatin.

Hingga suatu hari, kami semua kaget. Vina berubah menjadi sesuatu yang lain bagi kami. Hampir-hampir kami tidak mengenalnya. Mana hijab kebanggaan kita itu? Vina, kapan Engkau kembali? ()

To all member PA : Masih ingat kenangan di Simpang DAM?

Selamat Tinggal, Teh Lies

Selamat ya Dhek, tadi ceramahnya bagus. Afwan, tadi Teteh cuma bisa ngambil gambarnya dari jauh ” kata Teh Lies sambil menyerahkan kamera kepada Aldi saat acara peringatan Maulid Nabi di sebuah Lembaga Pemasyarakatan itu usai.

Aldi yang ditunjuk oleh teman-temannya mahasiswa Islam untuk menjadi penceramah. Aldi memang pintar pidato dan wawasannya tentang Islam cukup baik. Ia dikenal sebagai mahasiswa yang alim. Dia juga rajin mengikuti pengajian mingguan. Teh Lies sering memanggil Aldi dengan panggilan Dhek. Memang usia Aldi beberapa tahun lebih muda meskipun di kampus mereka satu tingkat.

Jazakillah” jawab Aldi singkat. Kemudian mereka berkumpul ke ruang sekretariat bergabung dengan pengurus LP.

Lilis Listiyaningsih nama lengkap gadis itu. Sikapnya yang supel membuat ia banyak dikenal dilingkungan kampus. Di samping kuliah ia juga bekerja di sebuah perusahaan multi nasional di kota ini. Ia aktif di berbagai kegiatan kampus, mulai dari senat mahasiswa sampai organisasi mahasiswa Islam. Ia kuliah di jurusan akuntansi namun sangat pintar bahasa Inggris. Teman-teman di kampus lebih akrab menyapanya dengan panggilan Teteh, karena dia keturunan Jawa Barat tulen.

Perkenalannya dengan Aldi sejak beberapa waktu lalu sempat membuat mereka dekat. Aldi adalah mahasiswa satu tingkat dengannya. Anak Informatika itu memang terkenal dengan kecerdasan dan keaktifan di kampus. Selain menjabat sebagai Sekjen Senat Mahasiswa, ia juga aktif di organisasi mahasiswa Islam.

Mereka kadang bertemu dalam rapat-rapat organisasi maupun kegiatan sosial.
Meskipun sesekali bertemu, namun mereka lebih sering komunikasi melalui email. Aldi juga bekerja di bidang informatika sesuai dengan kuliahnya. Melalui media maya inilah mereka mulai akrab. Hampir pada setiap acara kampus mereka berdua sering tampil bersama, kadang sebagai pembicara, memberikan kata sambutan maupun menjadi MC.

Sejak acara di Lembaga Pemasyaralatan itu, Aldi merasa ada sesuatu yang lain dalam dirinya. Terutama ketika bertemu dengan Teh Lies atau ada kegiatan bersama. Ketika ada kongres mahasiswa Islam di Jambi, mereka mengirim perwakilan untuk menghadiri termasuk Teh Lies. Aldi mendapat tugas untuk standby di sekretariat. Hampir setiap hari ia kirim SMS ke Teh Lies menanyakan kabarnya dan kegiatan kongres.

Demikian juga ketika ia mendapat tugas membaca Quran dalam sebuah acara pengajian di kampus. Teh Lies bertugas sebagai pembaca saritilawah. Aldi merasa ada sesuatu yang lain dalam dirinya. Kadang-kadang sesekali ia mencuri pandang ke arah tempat Teh Lies berada, meskipun sekedar melihat dari belakangnya. Ia seperti hafal bentuk jilbab yang dikenakan gadis itu. Meskipun tidak pernah menghampirinya.

Karena keakrabannya, teman-teman di kampus sering menafsirkan bahwa mereka berpacaran.

Teteh, afwan kalo saya sampaikan ini” batin Aldi sambil menekan tombol send di layar komputernya. Ia mengirim email kepada Teh Lies klarifikasi tentang gosip di kampus.

Teteh yang dirahmati Allah.
Bada tahmid dan sholawat,Sepertinya kita harus mulai membatasi diri dalam setiap pertemuan dan aktvfitas kampus, saya takut terkena penyakit hati dan tidak enak dengan teman-teman. Saya juga akan membatasi diri untuk tidak sering bertemu Teteh.
Kita sama-sama mengetahui batas-batas hijab antara kita. Saya tidak ingin hal ini mengotori hati kita.
Semoga Allah mengampuni dan melindungi kita.
Wassalam,
Dhek.


Email itu ditulis Aldi setelah melakukan perenungan tentang apa yang ia lakukan terakhir ini. Ia seperti dibuai bunga-bunga merah jambu hingga lupa batas-batas hijab antar lawan jenis. Ya. Ia terlalu dekat dengan Teh Lies, sang Teteh itu. Dan ia menyimpulkan untuk mengakhiri semuanya. Ia tidak ingin larut dalam buain angin syetan itu. Apalagi setelah mendapat taujih dari Bang Hasan tentang Tazkiyatun Nafs, dalam kajian pekanan bersama teman-temannya.

Sejak saat itu mereka jarang bertemu di kampus dan jarang juga mereka berkirim email lagi. Keduanya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Kurang lebih 2 bulan berikutnya Aldi menerima kiriman email dari Teh Lies.

Buat Dhek, semoga Allah merahmati.

Alhamdulillah Dhek telah mengingatkan, Teteh juga khilaf. Terus terang hampir saya bunga-bunga ini menjerumuskan Teteh dalam buaian dan menjadikan Teteh terperdaya. Teteh juga merasakan hal yang sama.

Sekarang Teteh ingin memperbaiki dan menata hati ini kembali. Apalagi akhir-akhir ini Teteh jarang menghadiri pertemuan pekanan, Teteh ingin kembali kesana.

Terima kasih telah mengingatkan. Semoga Allah mengampuni kita.
Wassalam,
Teteh.


Amin” batin Aldi sambil merenung membaca surat elektronik itu. Ia sengaja tidak membalas email itu dan menganggapnya sebagai email terakhirnya kepada Teh Lies.

Tut….tut…... HP Aldi berbunyi. Sambil mengucap salam ia menyapa lawan bicaranya. Yadi, adik tingkatnya sedang bicara diseberang. Ia mengabarkan bahwa Teteh sedang di rumah Sakit Budi Kemuliaan, dirawat disana. Terkena sakit malaria.

Bersama teman-teman kampus Aldi menjenguk Teh Lies di Ruang Cendana. Hari berikutnya teman-temannya bergantian menjaga di ruang perwatan. Karena semakin kritis, melalui pihak perusahaan mereka menghubungi orangtuanya di Tasikmalaya untuk datang kesini.

Namun kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi. Akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya didampingi teman-teman kampusnya.

Aldi menerima kabar kepergian Teh Lies ketika ia masih di kantor. Dalam keadaan kaget campur sedih, ia segera datang ke rumah sakit. Ia memimpin teman-temannya mensholatkan jenazah di rumah sakit dan membacakan surat yasin.

Kemudian bersama yang lain membawa jenazah ke masjid Nurul Islam, tempat tinggal Teh Lies. Teman-teman sekerjanya sudah banyak yang menunggu disana termasuk manajemen perusahaan.

Sampai akhirnya setelah dilakukan koordinasi dengan pihak keluarga, jenazah Teh Lies diantar oleh pihak perusahaan untuk dimakamkan di kampung halamannya.

Aldi memasuki mobil yang mengantar mereka ke bandara dengan perasaan yang campur aduk. Hanya doa yang bisa ia panjatkan selama perjalan kembali ke rumah dari bandara Hang Hadim. Selamat Jalan, Teteh. Semoga Allah merahmati engkau()

Rabu, 12 September 2007

Jalinan Ukhuwah di Gunung Jantan

Pagi itu cahaya matahari cerah menghiasi Gunung Jantan. Puncaknya yang tidak terlalu tinggi cukup menjulang nampak tegar dan kokoh. Inilah puncak tertinggi dari tiga buah gunung yang ada di kepulauan Karimun. Hutan yang masih asli, pohon-pohon rapi berdiri berjajar. Di salah satu lerengnya terdapat sebuah perkampungan sederhana. Desa Sememal. Salah satu wilayah kecamatan Meral Kabupaten Karimun. Disanalah terdapat sebuah pondok pesantren. Dan disana sedang berkumpul sekumpulan pemuda sedang mempersiapkan sebuah acara.

Latihan Dasar Kepemimpinan. Judul acara yang membuat semangat kita menggelora. Betapa tidak, negara ini sedang dirundung kemalangan dengan krisis berkepanjangan. Negeri ini membutuhkan pemimpin yang kuat. Dan disana, di desa terpencil di ujung sebuah pulau, bahkan di pulau kecil dari sekian ratus pulau di kepulauan riau ini, sedang diadakan even dengan target besar, mempersiapkan pemimpin.

Ya. Mereka adalah adik-adik pelajar SLTA di pulau ini. Mereka adalah pengurus Rohis 6 sekolah SLTA disini. Sebelum ini mereka telah mendapatkan bimbingan secara reguler melalui kegiatan mentoring dengan dipandu oleh kakak mentor dari LSM yang bernama Komunitas Peduli Pemuda Muslim Shalih Cendekia (KPPM Shadik). Tanpa merasa lelah dan dengan penuh semangat pemuda yang tergabung dalam organisasi ini bekerja. Dan mereka tengah mempersiapkan acara itu.

Pesantren Kenangan

Pondok pesantren ini terlalu sederhana untuk misi utamanya yang menjulang. Tempat menempa generasi muda Islam ini hanya berupa bangunan-bangunan sederhana. Bahkan terlalu sederhana. Berdinding kayu, beratap rumbia. Hanya sebuah gedung kecil untuk kantor yayasan yang nampak bagus. Juga sebuah masjid mungil untuk sholat berjamaah keluarga pesantren ini. Inilah pesantren Hidayatullah kab. Karimun.

Padahal sistem belajar disini sangat bagus. Anak-anak belajar ilmu umum sesuai dengan jenjang sekolahnya. Juga mendalami ilmu agama. Ada program hafalan quran, tahsin tilawah, kajian shirah, tsaqafah al islam, bahasa arab, nahu, sharaf tentu saja tidak ketinggalan kajian fiqih, tafsir, dan hadits. Setiap pagi dan sore anak-anak membaca dzikir al matsurat. Sholat berjamaah menjadi kewajiban utama.

Tapi lihat kondisi bangunannnya. Pemondokan santri ikhwan hanya terbuat dari susunan kayu-kayu. Dinding kayu, itupun tidak tertutup rapat. Atap rumbia dan plastik terpal yang tidak penuh menutupnya. Tempat tidur juga dipan kayu. Ada juga kasur-kasur butut yang sangat tipis dan sudah lusuh. Lemari pakaian dari kayu-kayu sederhana. Meskipun demikian ruangan pemondokan nampak rapi dan bersih. Ada sekitar 5 bangunan seperti ini. Agak jauh dari pemondokan ikhwan ada rumah ustadz, yang juga tidak lebih baik. Ada pemondokan putri yang letaknya lebih jauh ke dalam, dekat dengan lereng gunung. Ada dapur umum dan sekretariat.

Tempat mandi langsung dari air sungai yang mengalir dari lereng gunung. Ada lapangan luas di tengah-tengah sebagai tempat olahraga. Di sekeliling terdapat perkebunan untuk menanam sayur, dan tanaman lain yang bermanfaat. Listrik belum ada disini. Penerangan menggunakan sebuah genset kecil sumbangan dari dermawan. Alat ini dihidupkan pada saat-saat tertentu saja. Terutama malam hari.

Dalam kesederhanaan, pesantren ini menyimpan harapan besar. Kelak dari sini akan lahir para mujahid pejuang Islam. Insya Allah.



Merekalah Calon Pemimpin

Selepas sholat dhuhur, persiapan sudah cukup dilakukan. Pada peserta sudah mulai berdatangan. Ada sebagian kecil yang datang menggunakan kendaraan roda 2 bersama-sama dari sekolah mereka. Sebagian besarnya ikut bersama rombongan bus yang disipakan panitia. Ada dua buah bus yang disiapkan. Satu untuk rombongan ikhwan dan satu lagi rombongan akhwat. Mereka tadi bersama-sama berangkat dari SMA 1 sebagai meeting point.

Bus pertama membawa sekitar 30 orang remaja putra dari dan bus lainnya remaja putri dalam jumlah yang hampir sama. Mereka tampak dengan penuh semangat mengikuti acara ini. Padahal mereka mesti meninggalkan rumah dan akan tinggal di tempat yang sangat sederhana. Terbayang mereka akan tidur tanpa alas kecuali selembar tikar tipis. Namun mereka tidak mempedulikan hal itu. Mereka mulai sibuk mengikuti seluruh rangkaian acara pelatihan.

Berbagai materi mereka dapatkan. Teknik komunikasi, wawasan organisasi, pembekalan kerohanian, kepemimpinan dan team building. Mereka juga diberikan games-games yang menarik sehingga dapat mengeksplorasi kemampuannya. Acara malam berupa jurit malam dengan fokus pada pembekalan aqidah, akhlaq, ibadah dan juga tsaqafah. Paginya mereka berolah raga, tracking atau hiking ke gunung jantan dan permainan simulasi kerjasama tim.

Dalam Gerimis, Tahajud di Tengah Hutan

Kenangan yang tak terlupakan. Mengakhiri perjalanana malam dengan qiyamulail. Menjelang pos terakhir kami sampai di sebuah sumber mata air yang sejuk. Saat itu kurang lebih jam 03.30 wib. Mata air yang indah. Bebatuan besar bertumpuk-tumpuk menjadikan air mengalir seperti air terjun mini. Bunyi gemericiknya menyentuh kalbu. Mengingatkan kuasa Ilahi. Suasana pagi yang indah. Kami semua menikmati jernihnya air. Membasuh muka dan mensucikan diri.

Perjalanan sebentar sampai di sebuah tempat yang agak lapang. Kami menyusun barisan menghadap kiblat. Ustadz Syaifuddin, seorang pengajar di Hidayatullah memimpin sholat malam. Ketika takbiratul ihram, tiba-tiba langit meredup. Gerimis mengucuri seluruh tubuh kami. Basah kuyup badan dan baju kami. Namun jamaah tidak bergeming. Anugerah Allah semakin mendekatkan kami padanya. Adik-adik pelajar juga kami harap tidak merasa berat dengan situasi ini.

Menjelang subuh kami melanjutkan perjalanan. Kembali ke camp. Adik-adik terlihat menikmati perjalanan ini. Tidak ada keluh dan kesah terdengar dari mulut mereka. Bahkan mereka merasa terkesan dengan situasi seperti ini. Sungguh kenangan yang indah, bersama-sama menghadap keharibaan-Nya dalam sholat di penghujung malam, dalam suasana kelam di hutan, dalam gerimis hujan ….

Kenangan Indah

Sampai di pondok, kami membersihkan badan, mengganti baju dengan yang kering, mengambil air wudhu lalu menunaikan sholat shubuh. Ustadz Qomarudin memimpin sholat subuh, lalu memberikan tausyiah yang menggugah semangat. Kajian shirah nabawiyah. Kami disuguhi cerita heroik dan penuh nilai-nilai ilahiah, seorang sahabat unggul bernama Abdullah bin Huzaifah. Utusan Rasulullah dan duta para khalifah.

Kemudian kami melanjutkan dengan dzikir al matsurat, tilawah quran hingga pagi menjelang kami melakukan riyadhoh. Permainan sepakbola semakin menjadikan semua peserta menjadi akrab. Kakak mentor juga ikut bersama adik-adik bermain. Kelompok akhwat melakukan hiking mengikuti rute yang semalam dilalui kelompok ikhwan. Mereka juga terlihat sangat menikmati.

Setelah materi kepemimpinan, acara dilanjutkan dengan outbound. Materi team building disguhkan dengan games yang menarik. Seorang pembina senior memimpin acara tersebut. Semua peserta terlihat semangat. Mereka tertawa lebar, berlari, berbaris, bubar, membentuk lingkaran dan semua aktivitas sesuai dengan instruksi pembina. Sebuah game unik dengan menutup mata, mereka dimbing kawannya untuk menempuh rute tertentu. Kemudian bermain dengan kayu berbentuk segitiga dan melewati jaring laba-laba. Semua permainan sepertinya memang didisain sesuai dengan materi. Semuanya membutuhkan ketajaman intuisi, kepekaan, kejeliaan, kekompakan, kepemimpinan, komunikasi, kerjasama dan juga nilai-nilai pengorbanan.

Perpisahan adalah saat paling mengharukan. Dua hari terasa begitu singkat. Hampir tak terasa acara telah pada penghujungnya. Kesan-kesan positif peserta. Pembentukan alumni pelatihan sebagai wadah komunikasi bersama seluruh rohis, diiringi dengan pemilihan ketua alumni. Haru terasa ketika bersalam-salaman. Kenangan indah begitu cepat berlalu, namun kesan akan tetap terpatri di kalbu.

Gunung jantan masih berdiri tegak menjulang.
Di lerengnya pernah tercipta sebuah kenangan.
Ketika bunga-bunga ukhuwah terajut disana.
Adik-adik itu, mereka calon pemimpin bangsa.
Semoga persaudaraan ini akan tetap terjaga.


Karimun,
Toek adik-adik rohis se karimun, keep in touch on ukhuwah and keep in faith. Nahnu duát, brother …