Kepada teman-teman, saudara, mas, mbak, abang, adik, bapak, ibu yang merasa pernah 'menimba ilmu' di sekolah kehidupan di Batam, silakan bergabung dengan milis mybatam@yahoogroups.com
Disini temapt silaturahim, berbagi cerita sekaligus bernostalgia tentang kehidupan yang pernah dijalani selama tinggal di Pulau Batam.
Untuk bergabung, kirim email kosong ke mybatam-subscribe@yahoogroups.com
Selamat bergabung,
Admin
Batam Dalam Kenangan
Kisah-kisah Inspiratif tentang Petualangan, Persahabatan, Cinta dan Pengorbanan dengan Latar Belakang Pengalaman Hidup di Pulau Batam
Senin, 10 November 2008
Senin, 07 April 2008
Mirip Ayat-ayat Cinta
Aku membaca novel Aat-ayat cinta pada saat edisi pertama diluncurkan. Waktu itu aku masih di Tanjung Balai Karimun. Membaca buku cerita ini, aku jadi ingat sebuah kisah yang terjadi sekitar tahun 2000. Kisah antara Fahmi dan Nana. Keduanya nama yang disamarkan.
Aku dan Fahmi adalah teman satu grup. Saat itu usia kami sudah memasuki kisaran 24-25, jadi sudah masanya untuk memasuki jenjang pernikahan. Walimah adalah pembicaraan yang paling hangat. Dan lebih hangat lagi ketika mengetahui bahwa Fahmi sudah melakukan khitbah. Siapa akhwat yang beruntung akan mendaminginya (waktu itu) masih belum kami ketahui. Amni, begitu istilah kami. Sesuatu yang belum boleh menjadi konsumsi publik. Masih dirahasiakan, karena dikhawatirkan menjadi fitnah. Yang pasti jika sudah saatnya nanti undangan akan diedarkan dan kami juga yang harus menjadi event organizer acaranya.
Di balik persiapan Fahmi menuju saat yang paling membahagiakan, tersisas sebuah cerita yang cukup dramatis, mirip ayat-ayat cinta.
Suatu hari Fahmi menerima sebuah kartu pos dari Nana, sahabat lamanya waktu masih di SMP. Saat itu masih menyelesaikan program profesi sebagai dokter di sebuah universitas ternama di Jogja. Kartu pos bergambar kampus megah yang terkenal itu sangat sederhana. Dengan tulisan sederhana pula. Hanya ucapan selamat idul fitri dan ucapan salam, berikut tanda nama di bawahnya.
Namun yang membuat Fahmi berpikir adalah sang pengirim. Sudah lama sekali ia tidak pernah kontak lagi dengan Nana. Praktis sejak lulus SMP dulu. berarti sudah 9 tahun tidak pernah bertemu atau kontak lagi.
Pernah bertemu sekali saat ada acara reuni SMP sekitar tahun 1996, saat itu Fahmi sudah bekerja di Batam, namun teman-teman seangkatannya hampir semuanya masih duduk di bangku kuliah. Ketika itu Nana berpenampilan anggun dengan pakaian muslimah yang membungkus tubuhnya. Penampilannya tetap bersahaja seperti dulu, namun sekarang lebih terkesan intelek. Nana sahabat Fahmi dulu, sekarang sudah menjadi calon dokter. Saat itu bersama-sama teman seangkatan pergi silaturahim ke guru-guru. Saat itulah pertama kali melihat Nana setelah 5 tahun lulus dan setelah itu tidak pernah bertemu lagi. Memang beberapa kali pernah kirim-kirim email dan telepon saat orangtua Nana wafat, sekedar berbela sungkawa.
Melihat kartupos itu, Fahmi jadi terbayang masa-masa silam...
Seketika Fahmi teringat kembali kenangan semasa SMP. Nana adalah sekretaris kelas. Tulisannya sangat bagus. Ia juga siswi yang cerdas. Ayahnyas seorang pensiunan guru agama. Kehidupan keluarganya sangat religius. Sebagai seorang anak kampung, dari keluarga miskin dan tinggal jauh di pedesaan, Fahmi sering minder saat berada di kelas. Beruntung Fahmi termasuk siswa yang pintar di kelasnya sehingga teman-temannya segan. Tidak banyak yang memberikan perhatian kepada Fahmi apalagi mau bersahabat dengannya. Hanya beberapa orang saja yang sering membantu Fahmi.
Salah satunya adalah Nana. Sebagai 'orang kota' begitu yang ada dalam benak Fahmi, Nana termasuk orang yang berjiwa sosial, baik hati. Penampilannya yang supel, rajin, disiplin, pintar, dan menjadi kesayanyan semua guru. Ia masuk dalam tim cerdas cermat, pramuka, petugas upacara dan sering mewakili sekolah dalam perlombaan akademik. Pokoknya Nana adalah siswi yang sempurna.
Kenangan yang tidak pernah terlupakan adalah ketika mereka berdua mewakili sekolah dalam perlombaan tingkat eks-Karesidenan Pati, Olimpiade Matematika dan Bahasa Inggris. Nana masuk tim Bahasa Inggris dan Fahmi masuk tim matematika. Kebetulan keduanya meraih juara yang sama. Beberapa kali mereka dipanggil dalam acara penyerahan hadiah, dan seremonial lainnya baik di sekolah maupun dalam acara khusus. Ada rasa bangga dalam diri Fahmi. Juga senang. Itulah kenangan bersama Nana yang tak terlupakan.
"Mungkin Nana sekarang sudah "
"Ah, kenapa aku jadi mengingatnya lagi..." batin Fahmi.
Kini masanya sudah berbeda. Ia yang sekarang sudah menjadi seorang aktivis dengan segala keesibukannya. Ia juga telah membatasai hubungan dengan lawan jenis, sehingga tidak pernah lagi menghubungi teman-teman sekolahnya, kecuali hanya sekedar menyapa dan bertukar informasi seperlunya. Dia tidak pernah membayangkan sesuatu yang lebih dari itu. Apalagi sekarang ia sudah meng-khitbah seorang akhwat pilihannya. Sebentar lagi akan menikah.
"Mungkin ini ujian sebelum menikah...." batin Fahmi.
Namun banyangan itu tidak pernah lenyap dari pikirannya. Siang, sore, malam, pikiran dan bayangan tentang Nana selalu menghiasi pikirannya. Sesekali ia tergoda dengan pikiran yang aneh-aneh...
Nana, yang pernah ia kagumi karena kebersahajaan, kesederhaaan dan sering membantunya untuk mengurus beasiswa dan keringanan biaya sekolah. Nana yang tidak pernah menjauhinya meskipun tahu Fahmi adalah orang miskin. Nana yang selalu menganggap Fahmi sebagai saingan beratnya dalam pelajaran matematika. Nana yang pernah bersama-samanya dalam beberapa kali perlombaan. Nana ang selalu dijodoh-jodohkan dengannya oleh teamn-teman kos ketika masih sekolah di Semarang.
Hingga pagi hari, Fahmi belum bisa menghapus bayangan tentang Nana. Ia mengambil kembali kartu pos itu. Ia masukkan dalam tas kerjanya lalu ia bernagkat ke kantor. Sepanjang jalan ia berpikir bagaimana caranya menghilangkan bayangan itu. Hingga tiba di meja kerjanya, ia letakkan kartu pos itu di meja. Ia berpikir untuk menggunting kartu pos itu lalu membakarnya agar ia bisa melupakan bayangan itu. Ia buka laci di abwah meja. Diambilnya sebuah buku kecil daftar alumni SMP yang ada dalam tumpukan dokumen pribadinya.
Fahmi mengambil telepon di mejanya memutar sebuah nomor.
"Assalamu'alaikum.." suara lembut seorang perempuan terdengar dari seberang.
"Ini Fahmi ya, bagaimana kabarnya?" begitu suara wanita yang masih ia kenali dengan baik meskipun sudah lama tidak ia hubungi. Sudah bertahun-tahun lamanya.
"Alhamdulillah, aku baik saja. Terima kasih kartuposnya, bagus sekali. Aku senang menerimanya." ucapnya datar tanpa dibuat-buat.
"Kuliahmu bagaimana? Aku dengar sebentar lagi kamu sudah meraih gelar profesi sebagai dokter. Selamat ya." lanjut Fahmi
Setelah mengucapkan kalimat pengantar, Fahmi lalu menyampaikan tujuan utamanya. Ia ingin menyampaikan kabar serius itu kepada Nana, agar ia tahu kondisinya sekarang sekaligus emngabarkan keadaan dirinya. Fahmi juga sempat menanyakan bagaimana rencana Nana ke depan. Dengan normatif sahabat lamanya itu menjawab:
"Ya seperti wanita pada umumnya, setelah selesai kuliah, menjalani profesi dan berharap segera membina rumah tangga. Kamu sendiri bagaimana?" begitu jawab Nana sambil menanyakan rencana Fahmi sendiri.
"Nana, Insya Allah sebentar lagi aku menikah. Aku sudah meminang seseorang. Mungkin dalam bulan ini atau bulan depan. Nanti kalau sempat datang ya..." begitu jawab Fahmi dengan datar. Dengan tenang ia mengabari sahabatnya itu dengan harapan itu akan mengurangi perasaan yang menghantuinya sepanjang hari kemarin. Ia ingin memastikan bahwa Nana adalah masa lalu, sekarang ia bersiap untuk memasuki hidup baru.
Namun ia justru menangkap reaksi lain dari seberang.
Suasana menajdi sunyi. Keduanya terdiam di tempat masing-masing. Saat itu ada perasaan yang lain lagi dalam diri Fahmi. Ia menangkap ada sesuatu yang berbeda dengan Nana. Kenapa tiba-tiba ia diam.
"Na, ... kamu masih disana?"
masih belum ada jawaban. Tapi ia tahu Nana masih ada di seberang sana.
"Na, kamu kenapa?... ada yang salah?" Fahmi mencoba mencari jawaban.
"Fahmi, kamu serius kan?" tanya Nana dari seberang ingin meyakinkan.
"Iya, aku serius. Insya Allah dalam bulan ini, atau paling lambat bulan depan." jawab Fahmi.
"Boleh tahu dengan siapa, kok selama ini kamu tidak pernah cerita.."
"Apa yang harus diceritakan? Ini juga keputusan yang cepat. Sebelumnya aku merencanakan tahun depan. Tapi ada tawaran dari seorang ustadz, setelah melihat biodatanya, mempertimbangkan dan musyawarah dengan keluarga, aku menerimanya." begitu Fahmi menjelaskan proses khitbahnya yang berlangsung dengan cepat. Ia juga meneceritakan bahwa akhwat calonnya itu belum ia kenal sebelumnya. Ia hanya yakin bahwa yang bersangkutan memiliki latar belakang yang baik.
Dari seberang suara Nana hanya terdengar datar. Fahmi menangkap sebuah perasaan lain. Namun ia pura-pura tidak mengetahuinya. Ia justru berusaha meyakinkan Nana untuk bisa hadir nanti di acara yang rencananya ia laksanakan di kampung halaman.
"Fahmi, kamu kok seperti seperti itu ..." tiba-tiba Fahmi dikejutkan suara yang membuatnya bingung.
"Kenapa, Na? Apa maksudmu?"
"Kenapa kamu tiba-tiba memberi kabar seperti itu..."
Fahmi mulai menangkap maksud Nana.
Ia kemudian mengungkapkan semua yang terjadi. Fahmi menceritakan ulang beberapa kejadian yang mereka alami bersama, rencana pernikahannya sampai saat kemarin ia menerima kartupos dari Nana dan bayangan yang menyelimuti beankanya sampai ia tidak bisa tidur.
"Fahmi, maafkan aku jika kartupos itu mengganggu pikiranmu. Aku sama sekali tidak tahu jika kamu sudah mendapatkan pilihanmu.."
"Jika boleh berterus terang, sesungguhnya aku juga memendam perasaan ini sejak kita satu kelas dulu. Aku juga mengagumi dirimi sebagai seorang yang tangguh dalam kehidupan. Aku bangga denganmu, meskipun dari desa dan tergolong kurang mampu, kamu bisa berprestasi, bahkan sampai saat ini."
Terdengar suara Nana mulai parau.
"Aku berusaha untuk bertahan, dengan segala perasaan ini. Sebagai seorang wanita, tidak mungkin aku yang memulai. Aku benar-benar ingin sesuatu engkau ungkapkan dalam pertemuan kita empat tahun lalu. Atau dalam surat-suratmu."
Fahmi mencoba menahan gejolak dalam hatinya. Juga airmatanya.
Di seberang suara Nana semakin bercampur tertahan. Fahmi yakin Nana sedang menahan airmatanya.
"Aku selalu senang ketika mendapatkan kabar tentangmu, dari teman-teman kita. Aku juga bangga ketika kamu sudah bekerja di perusahaan ternama. Aku bangga ketika kamu bisa belajar ke luar negeri. Melanjutkan kuliah lagi. Aku senang ketika mendapat email darimu."
"Dan aku selalu menunggu itu semua. Aku sampai hampir menutup pintu hatiku untuk lelaki yang mendekatiku."
"Ketika ada orang yang datang ke rumah, mengatakan ingin meminang aku, dengan sopan dan hati-hati aku sampaikan ke keluargaku aku belum siap. Meskipun aku yakin Kak Ul tahu apa yang tersimpan di hatiku."
"Aku berharap yang datang adalah kamu, Fahmi. Sejujurnya aku berharap suatu hari, akulah orang yang akan engkau pilih. "
Fahmi tidak sanggup berkata-kata. Lama keduanya terdiam.
Namun ia tidak ingin terperangkap dalam romantika masa lalunya. Kini ia telah memilih. Mungkin ini hanya ujian untuk melihat kekuatan tekadnya.
Fahmi telah memilih jawabannya.
Aku dan Fahmi adalah teman satu grup. Saat itu usia kami sudah memasuki kisaran 24-25, jadi sudah masanya untuk memasuki jenjang pernikahan. Walimah adalah pembicaraan yang paling hangat. Dan lebih hangat lagi ketika mengetahui bahwa Fahmi sudah melakukan khitbah. Siapa akhwat yang beruntung akan mendaminginya (waktu itu) masih belum kami ketahui. Amni, begitu istilah kami. Sesuatu yang belum boleh menjadi konsumsi publik. Masih dirahasiakan, karena dikhawatirkan menjadi fitnah. Yang pasti jika sudah saatnya nanti undangan akan diedarkan dan kami juga yang harus menjadi event organizer acaranya.
Di balik persiapan Fahmi menuju saat yang paling membahagiakan, tersisas sebuah cerita yang cukup dramatis, mirip ayat-ayat cinta.
Suatu hari Fahmi menerima sebuah kartu pos dari Nana, sahabat lamanya waktu masih di SMP. Saat itu masih menyelesaikan program profesi sebagai dokter di sebuah universitas ternama di Jogja. Kartu pos bergambar kampus megah yang terkenal itu sangat sederhana. Dengan tulisan sederhana pula. Hanya ucapan selamat idul fitri dan ucapan salam, berikut tanda nama di bawahnya.
Namun yang membuat Fahmi berpikir adalah sang pengirim. Sudah lama sekali ia tidak pernah kontak lagi dengan Nana. Praktis sejak lulus SMP dulu. berarti sudah 9 tahun tidak pernah bertemu atau kontak lagi.
Pernah bertemu sekali saat ada acara reuni SMP sekitar tahun 1996, saat itu Fahmi sudah bekerja di Batam, namun teman-teman seangkatannya hampir semuanya masih duduk di bangku kuliah. Ketika itu Nana berpenampilan anggun dengan pakaian muslimah yang membungkus tubuhnya. Penampilannya tetap bersahaja seperti dulu, namun sekarang lebih terkesan intelek. Nana sahabat Fahmi dulu, sekarang sudah menjadi calon dokter. Saat itu bersama-sama teman seangkatan pergi silaturahim ke guru-guru. Saat itulah pertama kali melihat Nana setelah 5 tahun lulus dan setelah itu tidak pernah bertemu lagi. Memang beberapa kali pernah kirim-kirim email dan telepon saat orangtua Nana wafat, sekedar berbela sungkawa.
Melihat kartupos itu, Fahmi jadi terbayang masa-masa silam...
Seketika Fahmi teringat kembali kenangan semasa SMP. Nana adalah sekretaris kelas. Tulisannya sangat bagus. Ia juga siswi yang cerdas. Ayahnyas seorang pensiunan guru agama. Kehidupan keluarganya sangat religius. Sebagai seorang anak kampung, dari keluarga miskin dan tinggal jauh di pedesaan, Fahmi sering minder saat berada di kelas. Beruntung Fahmi termasuk siswa yang pintar di kelasnya sehingga teman-temannya segan. Tidak banyak yang memberikan perhatian kepada Fahmi apalagi mau bersahabat dengannya. Hanya beberapa orang saja yang sering membantu Fahmi.
Salah satunya adalah Nana. Sebagai 'orang kota' begitu yang ada dalam benak Fahmi, Nana termasuk orang yang berjiwa sosial, baik hati. Penampilannya yang supel, rajin, disiplin, pintar, dan menjadi kesayanyan semua guru. Ia masuk dalam tim cerdas cermat, pramuka, petugas upacara dan sering mewakili sekolah dalam perlombaan akademik. Pokoknya Nana adalah siswi yang sempurna.
Kenangan yang tidak pernah terlupakan adalah ketika mereka berdua mewakili sekolah dalam perlombaan tingkat eks-Karesidenan Pati, Olimpiade Matematika dan Bahasa Inggris. Nana masuk tim Bahasa Inggris dan Fahmi masuk tim matematika. Kebetulan keduanya meraih juara yang sama. Beberapa kali mereka dipanggil dalam acara penyerahan hadiah, dan seremonial lainnya baik di sekolah maupun dalam acara khusus. Ada rasa bangga dalam diri Fahmi. Juga senang. Itulah kenangan bersama Nana yang tak terlupakan.
"Mungkin Nana sekarang sudah "
"Ah, kenapa aku jadi mengingatnya lagi..." batin Fahmi.
Kini masanya sudah berbeda. Ia yang sekarang sudah menjadi seorang aktivis dengan segala keesibukannya. Ia juga telah membatasai hubungan dengan lawan jenis, sehingga tidak pernah lagi menghubungi teman-teman sekolahnya, kecuali hanya sekedar menyapa dan bertukar informasi seperlunya. Dia tidak pernah membayangkan sesuatu yang lebih dari itu. Apalagi sekarang ia sudah meng-khitbah seorang akhwat pilihannya. Sebentar lagi akan menikah.
"Mungkin ini ujian sebelum menikah...." batin Fahmi.
Namun banyangan itu tidak pernah lenyap dari pikirannya. Siang, sore, malam, pikiran dan bayangan tentang Nana selalu menghiasi pikirannya. Sesekali ia tergoda dengan pikiran yang aneh-aneh...
Nana, yang pernah ia kagumi karena kebersahajaan, kesederhaaan dan sering membantunya untuk mengurus beasiswa dan keringanan biaya sekolah. Nana yang tidak pernah menjauhinya meskipun tahu Fahmi adalah orang miskin. Nana yang selalu menganggap Fahmi sebagai saingan beratnya dalam pelajaran matematika. Nana yang pernah bersama-samanya dalam beberapa kali perlombaan. Nana ang selalu dijodoh-jodohkan dengannya oleh teamn-teman kos ketika masih sekolah di Semarang.
Hingga pagi hari, Fahmi belum bisa menghapus bayangan tentang Nana. Ia mengambil kembali kartu pos itu. Ia masukkan dalam tas kerjanya lalu ia bernagkat ke kantor. Sepanjang jalan ia berpikir bagaimana caranya menghilangkan bayangan itu. Hingga tiba di meja kerjanya, ia letakkan kartu pos itu di meja. Ia berpikir untuk menggunting kartu pos itu lalu membakarnya agar ia bisa melupakan bayangan itu. Ia buka laci di abwah meja. Diambilnya sebuah buku kecil daftar alumni SMP yang ada dalam tumpukan dokumen pribadinya.
Fahmi mengambil telepon di mejanya memutar sebuah nomor.
"Assalamu'alaikum.." suara lembut seorang perempuan terdengar dari seberang.
"Ini Fahmi ya, bagaimana kabarnya?" begitu suara wanita yang masih ia kenali dengan baik meskipun sudah lama tidak ia hubungi. Sudah bertahun-tahun lamanya.
"Alhamdulillah, aku baik saja. Terima kasih kartuposnya, bagus sekali. Aku senang menerimanya." ucapnya datar tanpa dibuat-buat.
"Kuliahmu bagaimana? Aku dengar sebentar lagi kamu sudah meraih gelar profesi sebagai dokter. Selamat ya." lanjut Fahmi
Setelah mengucapkan kalimat pengantar, Fahmi lalu menyampaikan tujuan utamanya. Ia ingin menyampaikan kabar serius itu kepada Nana, agar ia tahu kondisinya sekarang sekaligus emngabarkan keadaan dirinya. Fahmi juga sempat menanyakan bagaimana rencana Nana ke depan. Dengan normatif sahabat lamanya itu menjawab:
"Ya seperti wanita pada umumnya, setelah selesai kuliah, menjalani profesi dan berharap segera membina rumah tangga. Kamu sendiri bagaimana?" begitu jawab Nana sambil menanyakan rencana Fahmi sendiri.
"Nana, Insya Allah sebentar lagi aku menikah. Aku sudah meminang seseorang. Mungkin dalam bulan ini atau bulan depan. Nanti kalau sempat datang ya..." begitu jawab Fahmi dengan datar. Dengan tenang ia mengabari sahabatnya itu dengan harapan itu akan mengurangi perasaan yang menghantuinya sepanjang hari kemarin. Ia ingin memastikan bahwa Nana adalah masa lalu, sekarang ia bersiap untuk memasuki hidup baru.
Namun ia justru menangkap reaksi lain dari seberang.
Suasana menajdi sunyi. Keduanya terdiam di tempat masing-masing. Saat itu ada perasaan yang lain lagi dalam diri Fahmi. Ia menangkap ada sesuatu yang berbeda dengan Nana. Kenapa tiba-tiba ia diam.
"Na, ... kamu masih disana?"
masih belum ada jawaban. Tapi ia tahu Nana masih ada di seberang sana.
"Na, kamu kenapa?... ada yang salah?" Fahmi mencoba mencari jawaban.
"Fahmi, kamu serius kan?" tanya Nana dari seberang ingin meyakinkan.
"Iya, aku serius. Insya Allah dalam bulan ini, atau paling lambat bulan depan." jawab Fahmi.
"Boleh tahu dengan siapa, kok selama ini kamu tidak pernah cerita.."
"Apa yang harus diceritakan? Ini juga keputusan yang cepat. Sebelumnya aku merencanakan tahun depan. Tapi ada tawaran dari seorang ustadz, setelah melihat biodatanya, mempertimbangkan dan musyawarah dengan keluarga, aku menerimanya." begitu Fahmi menjelaskan proses khitbahnya yang berlangsung dengan cepat. Ia juga meneceritakan bahwa akhwat calonnya itu belum ia kenal sebelumnya. Ia hanya yakin bahwa yang bersangkutan memiliki latar belakang yang baik.
Dari seberang suara Nana hanya terdengar datar. Fahmi menangkap sebuah perasaan lain. Namun ia pura-pura tidak mengetahuinya. Ia justru berusaha meyakinkan Nana untuk bisa hadir nanti di acara yang rencananya ia laksanakan di kampung halaman.
"Fahmi, kamu kok seperti seperti itu ..." tiba-tiba Fahmi dikejutkan suara yang membuatnya bingung.
"Kenapa, Na? Apa maksudmu?"
"Kenapa kamu tiba-tiba memberi kabar seperti itu..."
Fahmi mulai menangkap maksud Nana.
Ia kemudian mengungkapkan semua yang terjadi. Fahmi menceritakan ulang beberapa kejadian yang mereka alami bersama, rencana pernikahannya sampai saat kemarin ia menerima kartupos dari Nana dan bayangan yang menyelimuti beankanya sampai ia tidak bisa tidur.
"Fahmi, maafkan aku jika kartupos itu mengganggu pikiranmu. Aku sama sekali tidak tahu jika kamu sudah mendapatkan pilihanmu.."
"Jika boleh berterus terang, sesungguhnya aku juga memendam perasaan ini sejak kita satu kelas dulu. Aku juga mengagumi dirimi sebagai seorang yang tangguh dalam kehidupan. Aku bangga denganmu, meskipun dari desa dan tergolong kurang mampu, kamu bisa berprestasi, bahkan sampai saat ini."
Terdengar suara Nana mulai parau.
"Aku berusaha untuk bertahan, dengan segala perasaan ini. Sebagai seorang wanita, tidak mungkin aku yang memulai. Aku benar-benar ingin sesuatu engkau ungkapkan dalam pertemuan kita empat tahun lalu. Atau dalam surat-suratmu."
Fahmi mencoba menahan gejolak dalam hatinya. Juga airmatanya.
Di seberang suara Nana semakin bercampur tertahan. Fahmi yakin Nana sedang menahan airmatanya.
"Aku selalu senang ketika mendapatkan kabar tentangmu, dari teman-teman kita. Aku juga bangga ketika kamu sudah bekerja di perusahaan ternama. Aku bangga ketika kamu bisa belajar ke luar negeri. Melanjutkan kuliah lagi. Aku senang ketika mendapat email darimu."
"Dan aku selalu menunggu itu semua. Aku sampai hampir menutup pintu hatiku untuk lelaki yang mendekatiku."
"Ketika ada orang yang datang ke rumah, mengatakan ingin meminang aku, dengan sopan dan hati-hati aku sampaikan ke keluargaku aku belum siap. Meskipun aku yakin Kak Ul tahu apa yang tersimpan di hatiku."
"Aku berharap yang datang adalah kamu, Fahmi. Sejujurnya aku berharap suatu hari, akulah orang yang akan engkau pilih. "
Fahmi tidak sanggup berkata-kata. Lama keduanya terdiam.
Namun ia tidak ingin terperangkap dalam romantika masa lalunya. Kini ia telah memilih. Mungkin ini hanya ujian untuk melihat kekuatan tekadnya.
Fahmi telah memilih jawabannya.
Langgam Kenangan Muda
Perubahan, itulah hasil yang diharapkan dari sebuah pembinaan. Begitu taujih dari pembina kami yang sering diulang pada setiap pertemuan pekanan. Dan hari ini Aa Agus kemali mengulang perkataannya yang selalu membekas dalam hati kami.
Hari itu Jumat sore. Sepulang kerja, aku meluncurkan sepeda motor GL Pro kebanggaanku ke Muka Kuning, tepanya di salah satu kamar di Blok R. Disana telah menungu Heri, Aji, Tiyo, Kana, Fahri, dan ada beberapa lagi yang belum datang. Aa Agus yang tempat kerjanya tidak jauh dari kantorku juga sudah menunggu.
Begitulah, aku selalu menunggu hari Jumat sore. Bukan karena akhir pekan lalu aku pergi berlibur seperti karyawan di PT pada umumnya. Namun karena hari Jumat sore adalah jadwal pertemuan mingguan kami. Disinilah kami akan mendapatkan gizi yang bermanfaat untuk spiritual kami. Aa Agus dengan begitu sabar memberikan wejangan sekaligus membimbing kami.
Kami sudah menjadi seperti saudara. Kami telah melalui banyak hal dengan kebersamaan ini. Makan, minum, tidur, olahraga, wisata, melihat konser nasyid, kerja bakti sampai demo. Semua kami lakukan bersama-sama. Kami juga sering mengingatkan satu sama lain. Mengingatkan waktu sholat, saling membangunkan untuk tahajud, saling menyetorkan hafalan, tukar menukar buku, diskusi bersama, bedah buku dan banyak hal.
Dan yang kami rasakan adalah perubahan yang ada dalam diri kami. Dulu kami adalah remaja yang hamir tidak punya pegangan hidup. Kesana kemari terombang-ambing roda pergaulan lingkungan industri di kawasan Muka Kuning ini.
Dulu kami tidak memiliki harapan dan cita-cita yang pasti. Hanya menjalani hidup begitu saja, bekerja, pulang, istirahat, bergaul dengan lingkungan sekitar sesama pekerja. Namanya pekerja yang semuanya berusia muda, pergaulannya ya ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ada yang sesuai norma agama ada juga yang melanggar syariat.
Sudah umum dalam pandangan orang di Muka Kuning ini, pergaulan laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang biasa. Orang-ornag muda yang berudaan, pacaran, berboncenan sepeda, duduk berdua di bawah pohon atau di taman seribu janji, adalah pemandangan yang biasa terjadi.
Namun bagi kami itu adalah masa lalu. Sekarang hati kami telah terpatri dalam satu janji, untuk mencintai hanya kepada Yang Maha Pencipta. Hati kami telah terpaku dalam satu prinsip, mencintai dan dicintai dalam satu sarana suci, pernikahan.
Dan kami yakin masa itu akan datang jika saatnya tiba.
Kami jadi ingat sebuah nasyid dari grup Suara Persaudaraan, ang berjudul Langgam Kenangan Muda syairnya sangat menyentuh hati kami. Dan nasyid ini juga yang telah memberikan sebuah penyadaran bagi kami tentang hakikat cinta.
Duhai kawan aku punya cerita
Kisah tentang dua anak manusia
Yang terhunjam sebatang panah asmara
Kemudian mendapat hidayah Robb-nya
Keduanya kini harus memilih
Antara sahabat dan Robb-nya terkasih
Sahabat lama pun kini ditinggalkan
Cinta suci hanyalah milik Tuhan
Aduh segere banyune ing sendang
Ilang susahe wis mari rak mriyang
Banyune bening nyenyeger ati
Mugerak lali ning Allah kang suci
Allah, Allah, Allah ghoyyatuna
Muhammad qudwatuna
Al-Quran dusturuna
Jihad, jihad, jihad sabiluna
Al-Mautu Fisabilillah atsma 'amalina
Allah, Allah, tujuan hidup kami
Muhammad tauladan kami
Al-Quran penuntun kami
Jihad, jihad, jihad jalan kami
Syahid di jalan Allah cita kami tertinggi
Ah, aku jadi rindu suasana itu. Aa Agus, Heri, Tiyo, Kana... Blok R, Muka Kuning.. jejak langkah menuju sebuah perubahan. Jumat sore yang tak terlupakan.
muka kuning, 1998, dimanakah kalian sekarang, saudaraku?
Hari itu Jumat sore. Sepulang kerja, aku meluncurkan sepeda motor GL Pro kebanggaanku ke Muka Kuning, tepanya di salah satu kamar di Blok R. Disana telah menungu Heri, Aji, Tiyo, Kana, Fahri, dan ada beberapa lagi yang belum datang. Aa Agus yang tempat kerjanya tidak jauh dari kantorku juga sudah menunggu.
Begitulah, aku selalu menunggu hari Jumat sore. Bukan karena akhir pekan lalu aku pergi berlibur seperti karyawan di PT pada umumnya. Namun karena hari Jumat sore adalah jadwal pertemuan mingguan kami. Disinilah kami akan mendapatkan gizi yang bermanfaat untuk spiritual kami. Aa Agus dengan begitu sabar memberikan wejangan sekaligus membimbing kami.
Kami sudah menjadi seperti saudara. Kami telah melalui banyak hal dengan kebersamaan ini. Makan, minum, tidur, olahraga, wisata, melihat konser nasyid, kerja bakti sampai demo. Semua kami lakukan bersama-sama. Kami juga sering mengingatkan satu sama lain. Mengingatkan waktu sholat, saling membangunkan untuk tahajud, saling menyetorkan hafalan, tukar menukar buku, diskusi bersama, bedah buku dan banyak hal.
Dan yang kami rasakan adalah perubahan yang ada dalam diri kami. Dulu kami adalah remaja yang hamir tidak punya pegangan hidup. Kesana kemari terombang-ambing roda pergaulan lingkungan industri di kawasan Muka Kuning ini.
Dulu kami tidak memiliki harapan dan cita-cita yang pasti. Hanya menjalani hidup begitu saja, bekerja, pulang, istirahat, bergaul dengan lingkungan sekitar sesama pekerja. Namanya pekerja yang semuanya berusia muda, pergaulannya ya ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ada yang sesuai norma agama ada juga yang melanggar syariat.
Sudah umum dalam pandangan orang di Muka Kuning ini, pergaulan laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang biasa. Orang-ornag muda yang berudaan, pacaran, berboncenan sepeda, duduk berdua di bawah pohon atau di taman seribu janji, adalah pemandangan yang biasa terjadi.
Namun bagi kami itu adalah masa lalu. Sekarang hati kami telah terpatri dalam satu janji, untuk mencintai hanya kepada Yang Maha Pencipta. Hati kami telah terpaku dalam satu prinsip, mencintai dan dicintai dalam satu sarana suci, pernikahan.
Dan kami yakin masa itu akan datang jika saatnya tiba.
Kami jadi ingat sebuah nasyid dari grup Suara Persaudaraan, ang berjudul Langgam Kenangan Muda syairnya sangat menyentuh hati kami. Dan nasyid ini juga yang telah memberikan sebuah penyadaran bagi kami tentang hakikat cinta.
Duhai kawan aku punya cerita
Kisah tentang dua anak manusia
Yang terhunjam sebatang panah asmara
Kemudian mendapat hidayah Robb-nya
Keduanya kini harus memilih
Antara sahabat dan Robb-nya terkasih
Sahabat lama pun kini ditinggalkan
Cinta suci hanyalah milik Tuhan
Aduh segere banyune ing sendang
Ilang susahe wis mari rak mriyang
Banyune bening nyenyeger ati
Mugerak lali ning Allah kang suci
Allah, Allah, Allah ghoyyatuna
Muhammad qudwatuna
Al-Quran dusturuna
Jihad, jihad, jihad sabiluna
Al-Mautu Fisabilillah atsma 'amalina
Allah, Allah, tujuan hidup kami
Muhammad tauladan kami
Al-Quran penuntun kami
Jihad, jihad, jihad jalan kami
Syahid di jalan Allah cita kami tertinggi
Ah, aku jadi rindu suasana itu. Aa Agus, Heri, Tiyo, Kana... Blok R, Muka Kuning.. jejak langkah menuju sebuah perubahan. Jumat sore yang tak terlupakan.
muka kuning, 1998, dimanakah kalian sekarang, saudaraku?
Senin, 08 Oktober 2007
Surat Kepada Hang Nadim
Aku menemukan buku lama yang tersimpan di salah satu sudut lemari buku ini. Sebuah buku kumpulan puisi berjudul "Hikayat Perjalanan Lumpur" karya seorang penyair Melayu, Syaukani Al Karim. Aku tersentak kembali membaca sebuah judul puisi tentang Kota Batam, Surat Kepada Hang Nadim.
Kucoba mencari rinduku d Batam, namun kakiku terus saja memijak genangan air mata.
Di jalanan, di gedung-gedung, di hotel-hotel berbintang, d plaza-plaza: wajag asing bersendau gurau, menukar mimpi dengan kesenangan, sementara anak negeri yang lusuh merenungi nasib di rumah kumuh, merenda kepahitan dengan corak bunga-bunga.
"Ini negeri tak bertuan. Tolong bayar dengan dollar," seorang pelacur berteriak dalam hingar-bingar lampu diskotik.
Di pinggiran, anak-anak berbaris menjunjung dulang, menjajakan mimpi ke setiap wajah.
"Hang Nadim sedang menangis dan kami menjual air matanya. Belilah, tuan, agar kami mendapat tempat di negeri kami yang asing."
Di batam, tawa tidak akan diam karena tangis, kemanusiaan ringkih, keadilan hanya mendaki bukit-bukit.
Di batam, angin dari jauh menghabiskan semua yang tersisa dari senyum, semua yang tersisa dari tawa, semua yang tersisa untuk kebahagiaan.
"Maaf, aku tak sempat jatuh cinta," ucap seorang kuli sambil mengelap peluhnya.
"Ini negerimu, nak. Sayangilah."
Namun sejarah telah mewariskan tangis, masa depan mengurai derita, kekalahan mendalamkan tikam, dan air mata rindu itu terus jatuh: menjelma menjadi jalan-jalan, gedung-gedung, hotel-hotel berbintang, plaza-plaza, diskotik-diskotik, juga menjadi gelombang di lautan nestapa.
Di batam, aku kehilangan negeri.
Dulu, pertama kali membaca puisi ini, sekitar tahun 1999, aku merasa memang apa yang disampaikan Syakani dalam puisinya ini banyak benarnya. Tapi aku yakin sekarang sudah banyak perubahan. Apalagi ketika Batam berusaha dengan sekuat tenaga mengubah citranya yang sebelumnya "hanya" digambarkan oleh sebagian kalangan dengan kehidupan gedung-gedung, jalan-jalan, pabrik, hotel, diskotik sekarang sudah sangat jauh berubah.
Batam, Bandar Dunia yang Madani. Itulah slogan yang dimiliki kota kepulauan ini. Dan ternyata itu bukan hanya sekedar slogan.
Sejak tahun 2005, pemberantasan kegiatan maksiat marak dilakukan oleh para petugas kepolisian dan pemerintah daerah. Penutupan lokalisasi, pemberantasan judi dan penertiban perumahan liar telah banyak merubah wajah kota ini. Seiring dengan itu pembangunan fasilitas ibadah, kegiatan keagamaan dan pertumbuhan sekolah-sekolah religius yang spektakuler. Untuk ukuran kota seperti Batam, jumlah pesantren yang ada tergolong menakjubkan.
Aku ingat, pada suatu kesempatan pengajian Manajemen Qolbu, di Masjid Nurul Islam, sekitar tahun 1999, Aa Gym pernah berkata "Jadikanlah Batam sebagai kota pesantren, pesantren kehidupan."
Dan saat ini aku benar-benar melihat, begitu maraknya kegiatan keagamaan. Kawasan industri Muka Kuning layaknya lautan jilbab setiap harinya, para pekerja yang hilir mudik dengan busana yang menyejukkan hati. Masjid-masjid yang hampir tidak pernah senggang dengan aktivitasnya, jamaahnya selalu penuh, dan yang menakjubkan, kita akan temukan di Batam, hampir semua masjid diaktifkan oleh para anak muda, sesuatu yang membanggakan. Setiap tahun, Masjid Raya Batam menyelenggarakan Ramadhan Fair, Itikaf 10 hari terakhir juga selalu ramai.
Aku juga menemukan, banyak sekali teman-teman, sahabat, kenalan, yang menemukan 'hidayah' kembali ketika di Batam. Ada yang dulu di kampung halaman belum bisa mengaji, tiba di Batam bisa mengaji dengan baik, bahkan sekarang sudah menjadi Ustadz dengan hafalan Quran yang menakjubkan, pemahaman agama yang juga mengesankan.
Tidak terhitung Ibu-ibu muda yang sekarang menjadi penggerak majelis taklim, organisasi keislaman da lainnya, yang dulu ketika baru menginjakkan kaki di Batam belum mengenal benar tentang Islam, kemudian mereka belajar, mengkaji ilmu agaman, mondok di pesantren dan sekarang menjadi ustadzah.
Batam, yang beberapa tahun sebelumnya pernah mendapat julukan Kota Terkotor di Indonesia, tahun kemarin mendapat Piala Adipura sebagai Kota Terbersih.
Memang belum seideal yang dibayangkan. Tapi aku yakin Batam akan menjadi kota harapan. Aku membayangkan, suatu saat nanti, kota Batam akan menjadi Andalusia-nya Indonesia. Pusat peradaban, pusat kebudayaan, pusat kemajuan teknologi, dan pusat berkembangnya ilmu pengetahuan.
Dan aku yakin, jika Hang Nadim bisa melihat semuanya, dia nanti akan bangga. "Batam, telah melampaui apa yang pernah aku bayangkan," katanya.
Kepada Akh Ria Saptarika, Bapak Wakil Walikota Batam, semoga dalam kepemimpinan seorang Dai, Batam benar-benar akan menjadi Bandar Dunia yang Madani, Insya Allah.
Kucoba mencari rinduku d Batam, namun kakiku terus saja memijak genangan air mata.
Di jalanan, di gedung-gedung, di hotel-hotel berbintang, d plaza-plaza: wajag asing bersendau gurau, menukar mimpi dengan kesenangan, sementara anak negeri yang lusuh merenungi nasib di rumah kumuh, merenda kepahitan dengan corak bunga-bunga.
"Ini negeri tak bertuan. Tolong bayar dengan dollar," seorang pelacur berteriak dalam hingar-bingar lampu diskotik.
Di pinggiran, anak-anak berbaris menjunjung dulang, menjajakan mimpi ke setiap wajah.
"Hang Nadim sedang menangis dan kami menjual air matanya. Belilah, tuan, agar kami mendapat tempat di negeri kami yang asing."
Di batam, tawa tidak akan diam karena tangis, kemanusiaan ringkih, keadilan hanya mendaki bukit-bukit.
Di batam, angin dari jauh menghabiskan semua yang tersisa dari senyum, semua yang tersisa dari tawa, semua yang tersisa untuk kebahagiaan.
"Maaf, aku tak sempat jatuh cinta," ucap seorang kuli sambil mengelap peluhnya.
"Ini negerimu, nak. Sayangilah."
Namun sejarah telah mewariskan tangis, masa depan mengurai derita, kekalahan mendalamkan tikam, dan air mata rindu itu terus jatuh: menjelma menjadi jalan-jalan, gedung-gedung, hotel-hotel berbintang, plaza-plaza, diskotik-diskotik, juga menjadi gelombang di lautan nestapa.
Di batam, aku kehilangan negeri.
Dulu, pertama kali membaca puisi ini, sekitar tahun 1999, aku merasa memang apa yang disampaikan Syakani dalam puisinya ini banyak benarnya. Tapi aku yakin sekarang sudah banyak perubahan. Apalagi ketika Batam berusaha dengan sekuat tenaga mengubah citranya yang sebelumnya "hanya" digambarkan oleh sebagian kalangan dengan kehidupan gedung-gedung, jalan-jalan, pabrik, hotel, diskotik sekarang sudah sangat jauh berubah.
Batam, Bandar Dunia yang Madani. Itulah slogan yang dimiliki kota kepulauan ini. Dan ternyata itu bukan hanya sekedar slogan.
Sejak tahun 2005, pemberantasan kegiatan maksiat marak dilakukan oleh para petugas kepolisian dan pemerintah daerah. Penutupan lokalisasi, pemberantasan judi dan penertiban perumahan liar telah banyak merubah wajah kota ini. Seiring dengan itu pembangunan fasilitas ibadah, kegiatan keagamaan dan pertumbuhan sekolah-sekolah religius yang spektakuler. Untuk ukuran kota seperti Batam, jumlah pesantren yang ada tergolong menakjubkan.
Aku ingat, pada suatu kesempatan pengajian Manajemen Qolbu, di Masjid Nurul Islam, sekitar tahun 1999, Aa Gym pernah berkata "Jadikanlah Batam sebagai kota pesantren, pesantren kehidupan."
Dan saat ini aku benar-benar melihat, begitu maraknya kegiatan keagamaan. Kawasan industri Muka Kuning layaknya lautan jilbab setiap harinya, para pekerja yang hilir mudik dengan busana yang menyejukkan hati. Masjid-masjid yang hampir tidak pernah senggang dengan aktivitasnya, jamaahnya selalu penuh, dan yang menakjubkan, kita akan temukan di Batam, hampir semua masjid diaktifkan oleh para anak muda, sesuatu yang membanggakan. Setiap tahun, Masjid Raya Batam menyelenggarakan Ramadhan Fair, Itikaf 10 hari terakhir juga selalu ramai.
Aku juga menemukan, banyak sekali teman-teman, sahabat, kenalan, yang menemukan 'hidayah' kembali ketika di Batam. Ada yang dulu di kampung halaman belum bisa mengaji, tiba di Batam bisa mengaji dengan baik, bahkan sekarang sudah menjadi Ustadz dengan hafalan Quran yang menakjubkan, pemahaman agama yang juga mengesankan.
Tidak terhitung Ibu-ibu muda yang sekarang menjadi penggerak majelis taklim, organisasi keislaman da lainnya, yang dulu ketika baru menginjakkan kaki di Batam belum mengenal benar tentang Islam, kemudian mereka belajar, mengkaji ilmu agaman, mondok di pesantren dan sekarang menjadi ustadzah.
Batam, yang beberapa tahun sebelumnya pernah mendapat julukan Kota Terkotor di Indonesia, tahun kemarin mendapat Piala Adipura sebagai Kota Terbersih.
Memang belum seideal yang dibayangkan. Tapi aku yakin Batam akan menjadi kota harapan. Aku membayangkan, suatu saat nanti, kota Batam akan menjadi Andalusia-nya Indonesia. Pusat peradaban, pusat kebudayaan, pusat kemajuan teknologi, dan pusat berkembangnya ilmu pengetahuan.
Dan aku yakin, jika Hang Nadim bisa melihat semuanya, dia nanti akan bangga. "Batam, telah melampaui apa yang pernah aku bayangkan," katanya.
Kepada Akh Ria Saptarika, Bapak Wakil Walikota Batam, semoga dalam kepemimpinan seorang Dai, Batam benar-benar akan menjadi Bandar Dunia yang Madani, Insya Allah.
Langganan:
Postingan (Atom)