Aku menemukan buku lama yang tersimpan di salah satu sudut lemari buku ini. Sebuah buku kumpulan puisi berjudul "Hikayat Perjalanan Lumpur" karya seorang penyair Melayu, Syaukani Al Karim. Aku tersentak kembali membaca sebuah judul puisi tentang Kota Batam, Surat Kepada Hang Nadim.
Kucoba mencari rinduku d Batam, namun kakiku terus saja memijak genangan air mata.
Di jalanan, di gedung-gedung, di hotel-hotel berbintang, d plaza-plaza: wajag asing bersendau gurau, menukar mimpi dengan kesenangan, sementara anak negeri yang lusuh merenungi nasib di rumah kumuh, merenda kepahitan dengan corak bunga-bunga.
"Ini negeri tak bertuan. Tolong bayar dengan dollar," seorang pelacur berteriak dalam hingar-bingar lampu diskotik.
Di pinggiran, anak-anak berbaris menjunjung dulang, menjajakan mimpi ke setiap wajah.
"Hang Nadim sedang menangis dan kami menjual air matanya. Belilah, tuan, agar kami mendapat tempat di negeri kami yang asing."
Di batam, tawa tidak akan diam karena tangis, kemanusiaan ringkih, keadilan hanya mendaki bukit-bukit.
Di batam, angin dari jauh menghabiskan semua yang tersisa dari senyum, semua yang tersisa dari tawa, semua yang tersisa untuk kebahagiaan.
"Maaf, aku tak sempat jatuh cinta," ucap seorang kuli sambil mengelap peluhnya.
"Ini negerimu, nak. Sayangilah."
Namun sejarah telah mewariskan tangis, masa depan mengurai derita, kekalahan mendalamkan tikam, dan air mata rindu itu terus jatuh: menjelma menjadi jalan-jalan, gedung-gedung, hotel-hotel berbintang, plaza-plaza, diskotik-diskotik, juga menjadi gelombang di lautan nestapa.
Di batam, aku kehilangan negeri.
Dulu, pertama kali membaca puisi ini, sekitar tahun 1999, aku merasa memang apa yang disampaikan Syakani dalam puisinya ini banyak benarnya. Tapi aku yakin sekarang sudah banyak perubahan. Apalagi ketika Batam berusaha dengan sekuat tenaga mengubah citranya yang sebelumnya "hanya" digambarkan oleh sebagian kalangan dengan kehidupan gedung-gedung, jalan-jalan, pabrik, hotel, diskotik sekarang sudah sangat jauh berubah.
Batam, Bandar Dunia yang Madani. Itulah slogan yang dimiliki kota kepulauan ini. Dan ternyata itu bukan hanya sekedar slogan.
Sejak tahun 2005, pemberantasan kegiatan maksiat marak dilakukan oleh para petugas kepolisian dan pemerintah daerah. Penutupan lokalisasi, pemberantasan judi dan penertiban perumahan liar telah banyak merubah wajah kota ini. Seiring dengan itu pembangunan fasilitas ibadah, kegiatan keagamaan dan pertumbuhan sekolah-sekolah religius yang spektakuler. Untuk ukuran kota seperti Batam, jumlah pesantren yang ada tergolong menakjubkan.
Aku ingat, pada suatu kesempatan pengajian Manajemen Qolbu, di Masjid Nurul Islam, sekitar tahun 1999, Aa Gym pernah berkata "Jadikanlah Batam sebagai kota pesantren, pesantren kehidupan."
Dan saat ini aku benar-benar melihat, begitu maraknya kegiatan keagamaan. Kawasan industri Muka Kuning layaknya lautan jilbab setiap harinya, para pekerja yang hilir mudik dengan busana yang menyejukkan hati. Masjid-masjid yang hampir tidak pernah senggang dengan aktivitasnya, jamaahnya selalu penuh, dan yang menakjubkan, kita akan temukan di Batam, hampir semua masjid diaktifkan oleh para anak muda, sesuatu yang membanggakan. Setiap tahun, Masjid Raya Batam menyelenggarakan Ramadhan Fair, Itikaf 10 hari terakhir juga selalu ramai.
Aku juga menemukan, banyak sekali teman-teman, sahabat, kenalan, yang menemukan 'hidayah' kembali ketika di Batam. Ada yang dulu di kampung halaman belum bisa mengaji, tiba di Batam bisa mengaji dengan baik, bahkan sekarang sudah menjadi Ustadz dengan hafalan Quran yang menakjubkan, pemahaman agama yang juga mengesankan.
Tidak terhitung Ibu-ibu muda yang sekarang menjadi penggerak majelis taklim, organisasi keislaman da lainnya, yang dulu ketika baru menginjakkan kaki di Batam belum mengenal benar tentang Islam, kemudian mereka belajar, mengkaji ilmu agaman, mondok di pesantren dan sekarang menjadi ustadzah.
Batam, yang beberapa tahun sebelumnya pernah mendapat julukan Kota Terkotor di Indonesia, tahun kemarin mendapat Piala Adipura sebagai Kota Terbersih.
Memang belum seideal yang dibayangkan. Tapi aku yakin Batam akan menjadi kota harapan. Aku membayangkan, suatu saat nanti, kota Batam akan menjadi Andalusia-nya Indonesia. Pusat peradaban, pusat kebudayaan, pusat kemajuan teknologi, dan pusat berkembangnya ilmu pengetahuan.
Dan aku yakin, jika Hang Nadim bisa melihat semuanya, dia nanti akan bangga. "Batam, telah melampaui apa yang pernah aku bayangkan," katanya.
Kepada Akh Ria Saptarika, Bapak Wakil Walikota Batam, semoga dalam kepemimpinan seorang Dai, Batam benar-benar akan menjadi Bandar Dunia yang Madani, Insya Allah.