Senin, 07 April 2008

Mirip Ayat-ayat Cinta

Aku membaca novel Aat-ayat cinta pada saat edisi pertama diluncurkan. Waktu itu aku masih di Tanjung Balai Karimun. Membaca buku cerita ini, aku jadi ingat sebuah kisah yang terjadi sekitar tahun 2000. Kisah antara Fahmi dan Nana. Keduanya nama yang disamarkan.

Aku dan Fahmi adalah teman satu grup. Saat itu usia kami sudah memasuki kisaran 24-25, jadi sudah masanya untuk memasuki jenjang pernikahan. Walimah adalah pembicaraan yang paling hangat. Dan lebih hangat lagi ketika mengetahui bahwa Fahmi sudah melakukan khitbah. Siapa akhwat yang beruntung akan mendaminginya (waktu itu) masih belum kami ketahui. Amni, begitu istilah kami. Sesuatu yang belum boleh menjadi konsumsi publik. Masih dirahasiakan, karena dikhawatirkan menjadi fitnah. Yang pasti jika sudah saatnya nanti undangan akan diedarkan dan kami juga yang harus menjadi event organizer acaranya.

Di balik persiapan Fahmi menuju saat yang paling membahagiakan, tersisas sebuah cerita yang cukup dramatis, mirip ayat-ayat cinta.

Suatu hari Fahmi menerima sebuah kartu pos dari Nana, sahabat lamanya waktu masih di SMP. Saat itu masih menyelesaikan program profesi sebagai dokter di sebuah universitas ternama di Jogja. Kartu pos bergambar kampus megah yang terkenal itu sangat sederhana. Dengan tulisan sederhana pula. Hanya ucapan selamat idul fitri dan ucapan salam, berikut tanda nama di bawahnya.

Namun yang membuat Fahmi berpikir adalah sang pengirim. Sudah lama sekali ia tidak pernah kontak lagi dengan Nana. Praktis sejak lulus SMP dulu. berarti sudah 9 tahun tidak pernah bertemu atau kontak lagi.

Pernah bertemu sekali saat ada acara reuni SMP sekitar tahun 1996, saat itu Fahmi sudah bekerja di Batam, namun teman-teman seangkatannya hampir semuanya masih duduk di bangku kuliah. Ketika itu Nana berpenampilan anggun dengan pakaian muslimah yang membungkus tubuhnya. Penampilannya tetap bersahaja seperti dulu, namun sekarang lebih terkesan intelek. Nana sahabat Fahmi dulu, sekarang sudah menjadi calon dokter. Saat itu bersama-sama teman seangkatan pergi silaturahim ke guru-guru. Saat itulah pertama kali melihat Nana setelah 5 tahun lulus dan setelah itu tidak pernah bertemu lagi. Memang beberapa kali pernah kirim-kirim email dan telepon saat orangtua Nana wafat, sekedar berbela sungkawa.

Melihat kartupos itu, Fahmi jadi terbayang masa-masa silam...

Seketika Fahmi teringat kembali kenangan semasa SMP. Nana adalah sekretaris kelas. Tulisannya sangat bagus. Ia juga siswi yang cerdas. Ayahnyas seorang pensiunan guru agama. Kehidupan keluarganya sangat religius. Sebagai seorang anak kampung, dari keluarga miskin dan tinggal jauh di pedesaan, Fahmi sering minder saat berada di kelas. Beruntung Fahmi termasuk siswa yang pintar di kelasnya sehingga teman-temannya segan. Tidak banyak yang memberikan perhatian kepada Fahmi apalagi mau bersahabat dengannya. Hanya beberapa orang saja yang sering membantu Fahmi.

Salah satunya adalah Nana. Sebagai 'orang kota' begitu yang ada dalam benak Fahmi, Nana termasuk orang yang berjiwa sosial, baik hati. Penampilannya yang supel, rajin, disiplin, pintar, dan menjadi kesayanyan semua guru. Ia masuk dalam tim cerdas cermat, pramuka, petugas upacara dan sering mewakili sekolah dalam perlombaan akademik. Pokoknya Nana adalah siswi yang sempurna.

Kenangan yang tidak pernah terlupakan adalah ketika mereka berdua mewakili sekolah dalam perlombaan tingkat eks-Karesidenan Pati, Olimpiade Matematika dan Bahasa Inggris. Nana masuk tim Bahasa Inggris dan Fahmi masuk tim matematika. Kebetulan keduanya meraih juara yang sama. Beberapa kali mereka dipanggil dalam acara penyerahan hadiah, dan seremonial lainnya baik di sekolah maupun dalam acara khusus. Ada rasa bangga dalam diri Fahmi. Juga senang. Itulah kenangan bersama Nana yang tak terlupakan.

"Mungkin Nana sekarang sudah "
"Ah, kenapa aku jadi mengingatnya lagi..." batin Fahmi.

Kini masanya sudah berbeda. Ia yang sekarang sudah menjadi seorang aktivis dengan segala keesibukannya. Ia juga telah membatasai hubungan dengan lawan jenis, sehingga tidak pernah lagi menghubungi teman-teman sekolahnya, kecuali hanya sekedar menyapa dan bertukar informasi seperlunya. Dia tidak pernah membayangkan sesuatu yang lebih dari itu. Apalagi sekarang ia sudah meng-khitbah seorang akhwat pilihannya. Sebentar lagi akan menikah.

"Mungkin ini ujian sebelum menikah...." batin Fahmi.

Namun banyangan itu tidak pernah lenyap dari pikirannya. Siang, sore, malam, pikiran dan bayangan tentang Nana selalu menghiasi pikirannya. Sesekali ia tergoda dengan pikiran yang aneh-aneh...

Nana, yang pernah ia kagumi karena kebersahajaan, kesederhaaan dan sering membantunya untuk mengurus beasiswa dan keringanan biaya sekolah. Nana yang tidak pernah menjauhinya meskipun tahu Fahmi adalah orang miskin. Nana yang selalu menganggap Fahmi sebagai saingan beratnya dalam pelajaran matematika. Nana yang pernah bersama-samanya dalam beberapa kali perlombaan. Nana ang selalu dijodoh-jodohkan dengannya oleh teamn-teman kos ketika masih sekolah di Semarang.

Hingga pagi hari, Fahmi belum bisa menghapus bayangan tentang Nana. Ia mengambil kembali kartu pos itu. Ia masukkan dalam tas kerjanya lalu ia bernagkat ke kantor. Sepanjang jalan ia berpikir bagaimana caranya menghilangkan bayangan itu. Hingga tiba di meja kerjanya, ia letakkan kartu pos itu di meja. Ia berpikir untuk menggunting kartu pos itu lalu membakarnya agar ia bisa melupakan bayangan itu. Ia buka laci di abwah meja. Diambilnya sebuah buku kecil daftar alumni SMP yang ada dalam tumpukan dokumen pribadinya.

Fahmi mengambil telepon di mejanya memutar sebuah nomor.

"Assalamu'alaikum.." suara lembut seorang perempuan terdengar dari seberang.
"Ini Fahmi ya, bagaimana kabarnya?" begitu suara wanita yang masih ia kenali dengan baik meskipun sudah lama tidak ia hubungi. Sudah bertahun-tahun lamanya.

"Alhamdulillah, aku baik saja. Terima kasih kartuposnya, bagus sekali. Aku senang menerimanya." ucapnya datar tanpa dibuat-buat.
"Kuliahmu bagaimana? Aku dengar sebentar lagi kamu sudah meraih gelar profesi sebagai dokter. Selamat ya." lanjut Fahmi

Setelah mengucapkan kalimat pengantar, Fahmi lalu menyampaikan tujuan utamanya. Ia ingin menyampaikan kabar serius itu kepada Nana, agar ia tahu kondisinya sekarang sekaligus emngabarkan keadaan dirinya. Fahmi juga sempat menanyakan bagaimana rencana Nana ke depan. Dengan normatif sahabat lamanya itu menjawab:
"Ya seperti wanita pada umumnya, setelah selesai kuliah, menjalani profesi dan berharap segera membina rumah tangga. Kamu sendiri bagaimana?" begitu jawab Nana sambil menanyakan rencana Fahmi sendiri.

"Nana, Insya Allah sebentar lagi aku menikah. Aku sudah meminang seseorang. Mungkin dalam bulan ini atau bulan depan. Nanti kalau sempat datang ya..." begitu jawab Fahmi dengan datar. Dengan tenang ia mengabari sahabatnya itu dengan harapan itu akan mengurangi perasaan yang menghantuinya sepanjang hari kemarin. Ia ingin memastikan bahwa Nana adalah masa lalu, sekarang ia bersiap untuk memasuki hidup baru.

Namun ia justru menangkap reaksi lain dari seberang.
Suasana menajdi sunyi. Keduanya terdiam di tempat masing-masing. Saat itu ada perasaan yang lain lagi dalam diri Fahmi. Ia menangkap ada sesuatu yang berbeda dengan Nana. Kenapa tiba-tiba ia diam.

"Na, ... kamu masih disana?"
masih belum ada jawaban. Tapi ia tahu Nana masih ada di seberang sana.

"Na, kamu kenapa?... ada yang salah?" Fahmi mencoba mencari jawaban.

"Fahmi, kamu serius kan?" tanya Nana dari seberang ingin meyakinkan.

"Iya, aku serius. Insya Allah dalam bulan ini, atau paling lambat bulan depan." jawab Fahmi.

"Boleh tahu dengan siapa, kok selama ini kamu tidak pernah cerita.."

"Apa yang harus diceritakan? Ini juga keputusan yang cepat. Sebelumnya aku merencanakan tahun depan. Tapi ada tawaran dari seorang ustadz, setelah melihat biodatanya, mempertimbangkan dan musyawarah dengan keluarga, aku menerimanya." begitu Fahmi menjelaskan proses khitbahnya yang berlangsung dengan cepat. Ia juga meneceritakan bahwa akhwat calonnya itu belum ia kenal sebelumnya. Ia hanya yakin bahwa yang bersangkutan memiliki latar belakang yang baik.

Dari seberang suara Nana hanya terdengar datar. Fahmi menangkap sebuah perasaan lain. Namun ia pura-pura tidak mengetahuinya. Ia justru berusaha meyakinkan Nana untuk bisa hadir nanti di acara yang rencananya ia laksanakan di kampung halaman.

"Fahmi, kamu kok seperti seperti itu ..." tiba-tiba Fahmi dikejutkan suara yang membuatnya bingung.
"Kenapa, Na? Apa maksudmu?"
"Kenapa kamu tiba-tiba memberi kabar seperti itu..."

Fahmi mulai menangkap maksud Nana.

Ia kemudian mengungkapkan semua yang terjadi. Fahmi menceritakan ulang beberapa kejadian yang mereka alami bersama, rencana pernikahannya sampai saat kemarin ia menerima kartupos dari Nana dan bayangan yang menyelimuti beankanya sampai ia tidak bisa tidur.

"Fahmi, maafkan aku jika kartupos itu mengganggu pikiranmu. Aku sama sekali tidak tahu jika kamu sudah mendapatkan pilihanmu.."

"Jika boleh berterus terang, sesungguhnya aku juga memendam perasaan ini sejak kita satu kelas dulu. Aku juga mengagumi dirimi sebagai seorang yang tangguh dalam kehidupan. Aku bangga denganmu, meskipun dari desa dan tergolong kurang mampu, kamu bisa berprestasi, bahkan sampai saat ini."

Terdengar suara Nana mulai parau.

"Aku berusaha untuk bertahan, dengan segala perasaan ini. Sebagai seorang wanita, tidak mungkin aku yang memulai. Aku benar-benar ingin sesuatu engkau ungkapkan dalam pertemuan kita empat tahun lalu. Atau dalam surat-suratmu."

Fahmi mencoba menahan gejolak dalam hatinya. Juga airmatanya.
Di seberang suara Nana semakin bercampur tertahan. Fahmi yakin Nana sedang menahan airmatanya.

"Aku selalu senang ketika mendapatkan kabar tentangmu, dari teman-teman kita. Aku juga bangga ketika kamu sudah bekerja di perusahaan ternama. Aku bangga ketika kamu bisa belajar ke luar negeri. Melanjutkan kuliah lagi. Aku senang ketika mendapat email darimu."

"Dan aku selalu menunggu itu semua. Aku sampai hampir menutup pintu hatiku untuk lelaki yang mendekatiku."

"Ketika ada orang yang datang ke rumah, mengatakan ingin meminang aku, dengan sopan dan hati-hati aku sampaikan ke keluargaku aku belum siap. Meskipun aku yakin Kak Ul tahu apa yang tersimpan di hatiku."

"Aku berharap yang datang adalah kamu, Fahmi. Sejujurnya aku berharap suatu hari, akulah orang yang akan engkau pilih. "

Fahmi tidak sanggup berkata-kata. Lama keduanya terdiam.
Namun ia tidak ingin terperangkap dalam romantika masa lalunya. Kini ia telah memilih. Mungkin ini hanya ujian untuk melihat kekuatan tekadnya.

Fahmi telah memilih jawabannya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

I always enjoy your blog. Thank you so much giving me much information. When you have the time , please visit our web site.