Rabu, 26 September 2007

Aa, Kok Tidur di Luar?

Beruntung aku dikaruniai seorang suami yang baik seperti dia. Sekarang sudah 7 tahun lebih berumah tangga hampir tak pernah sekalipun ia menyakitiku secara fisik. Ia orang yang paling sabar yang pernah kukenal. Jika ia marah atau tidak suka dengan sesuatu, ia hanya mensikapinya dengan diam. Sejak pertama kami menikah begitulah cara pelampiasan kemarahan yang ia katakan padaku sewaktu hari pertama pernikahan kami.

Kami menikah ketika sama-sama bekerja di Batam. Aku bekerja di sebuah perusahaan terkemuka di Batamindo, Muka Kuning, sebagai senior operator. Dan dia bekerja di sebuah perusahaan asing juga, di kawasan Sekupang. Kami menikah tanpa pacaran sebelumnya, bahkan boleh dibilang kami tidak saling mengenal sebelum menikah. Ya memang hampir semua teman-temanku juga menikah dengan cara yang sama sepertiku. Jadi hal seperti ini bukan sesuatu yang aneh di Batam.

Saat itu usiaku sudah hampir 25 tahun, usia yang krusial bagi seornag gadis sepertiku. Apalagi keluargaku di Jawa Barat sudah beberapa kali menanyakan kapan aku menikah. Hampir semua orang menanyakan hal itu saat aku pulang kampung atau menelpon menanyakan kabar mereka. Akhirnya ketika ada seorang ibi muda yang aku kenal baik menawarkan proposal seorang lelaki yang ingin menikah langsung saja aku terima.

Hampir tidak ada sesuatu yang aku pertimbangkan saat itu, siapapun dia asal dia lelaki yang Muslim, shalih dan taat akan aku terima. Tentang hal lain urusan nanti, pikirku. Akhirnya setelah aku baca biodatanya aku menyatakan bersedia dengan syarat dipertemukan dulu untuk taƔruf dengannya. Setelah bertemu dengannya aku semakin yakin dan dengan mantap menerima pinangannya.

Kejadiannya berlangsung dengan cepat ketika dua minggu kemudian dia datang ke orangtuaku untuk khitbah, sebulan kemudian kami menikah.

Setelah menikah, kami tinggal di rumahnya, lebih tepat asrama yang disediakan perusahaan, di kawasan elit Perumahan Green Court. Kehidupan kami jalani dengan penuh kebahagiaan. Meskipun suamiku adalah orang yang sibuk, namun ia selalu memperhatikan kebutuhanku sebagai istrinya. Ia sering membawakan oleh-oleh untukku. Memang hal yang sederhana, dan mungkin bagi orang lain tidak terlalu istimewa, namun bagiku adalah sesuatu yang menyenangkan ketika suamiku pulang membawa pisang goreng, kadang bawa mie ayam, martabak atau beberapa buah apel.

Selain bekerja di kantor, suamiku punya pekerjaan sampingan menjual buku-buku, kaset dan minyak wangi. Dia juga aktif di beberapa organisasi sosial, remaja masjid, yayasan dan Ikatan Dai Muda Kota Batam. Sebagai seorang pendakwah, ia sering diundang mengisi ceramah di masjid, sekolah atau di majelis taklim PT. Dan karena aktifitasnya itulah ia sering pulang malam. Bahkan kadang jika kegiatannya harus bermalam di tempat lain aku harus rela untuk di rumah sendiri. Biasanya aku mengajak teman-teman yang dulu se-dormitori denganku untuk menginap di rumah kami.

Aku memanggilnya Aa. Meskipun dia bukan orang Sunda sepertiku tapi aku lebih senang memanggilnya demikian. Dia juga senang dipanggil demikian.

Aa termasuk orang yang romantis. Sangat mengerti perasaan wanita seperti aku yang menjadi istrinya. Pernah suatu kali pulang dari tugas luar kota ia memberikan aku serangkai bunga yang ia beli di kota tersebut.

Suatu saat ketika ia pergi ke Jakarta untuk training selama seminggu, aku dikagetkan oleh seorang petugas pengantar delivery order dari sebuah restoran siap saji yang ada di kawasan Nagoya yang datang datang ke rumah mengantarkan sebuah paket makanan ayam goreng. Katanya ada kiriman dari Jakarta. Ternyata suamiku mengirim paket makanan ayam goreng itu melalui internet dan restoran capat saji yang sudah online itu mengirim melalui cabangnya yang ada di Nagoya. Di luar paket tersebut ada sebuah kertas dengan pesan singkat "Selamat Makan Siang, Aa Kangen sama Ade' -- dari XXXX tertulis jelas nama suamiku disana." Aku sangat senang membacanya.

Dia juga sering menuliskan surat cinta untukku. Terutama sebelum ia pergi untuk beberapa hari lamanya, baik urusan pekerjaannya maupun urusan tugasnya sebagai seorang dai. Sebelum berangkat biasanya ia meninggalkan dua buah surat. Yang satu surat untuk aku baca setelah ia berangkat dan satu surat lagi pesannya untuk dibaca kalau dia tidak pulang selamanya. Ah.. Aa memang sering membuatku berdebar. Tapi katanya itu adalah sunah Nabi, meninggalkan wasiat sebelum bepergian. Dan entah kenapa itu lebih membuatku merasa tenang ketika ia meninggalkanku.

Dalam suratnya, selain ungkapan cinta dan sayang, ia selalu berpesan agar aku selalu menjaga sholat, rutin membaca Al Quran, berdoa kepada Allah agar diberi keturunan yang shalih dan menjaga rumah beserta isinya. Satu surat lagi menurutnya adalah daftar hutang piutang yang ia miliki, tapi aku belum pernah membukanya karena Alhamdulillah ia selalu pulang, hingga sekarang.

Aa juga orang yang tidak banyak mengeluh dengan keadannya, termasuk juga keadaanku. Ia tidak pernah marah kalau sampai di rumah ternyata tidak ada makanan yang sesuai seleranya. Ia selalu menikmati apapun makanan yang aku sediakan. Dan ia juga selalu mengatakan bahwa makananku enak, padahal aku sendiri yang memasak kadang merasa kalau masakanku kurang lezat.

Sungguh, Aa termasuk orang yang berakhlak baik kepada istrinya. Katanya ia ingin mencontoh Rasul, yang selalu berakhlak baik kepada istrinya.

Pernah suatu hari, ia pulang agak larut malam. Aku yang menunggunya sampai tertidur. Karena sudah mengantuk berat aku pindah ke kamar yang letaknya di belakang. Biasanya kalau Aa tidak pulang atau terlambat pulang ia menelepon dulu. Tapi entah kenapa malam itu ia tidak menelpon. Aku sudah tidak dapat menahan rasa kantuk sehingga aku terlelap.

Rasa kagetku muncul ketika terbangun, aku tidak mendapatkan suamiku di sisiku. Wah, Aa belum pulang, pikirku. Jam menunjukkan pukul 03.00 Wib. Lampu di ruang tamu masih menyala, aku coba menyibakkan tirai jendela. Loh motornya sudah di rumah. Berarti Aa sudah pulang. Aku coba buka tirai lebih lebar dan menyebar pandangan ke beberapa sudut rumah.

Deg. Pandanganku seakan tak percaya melihat sesosok tubuh yang kukenal tidur di depan pintu samping dekat dapur. Dengan beralaskan kain spanduk yang biasa tersimpan di gudang samping rumah, dan sebuah sarung yang menyelimutinya. Aku merasa bersalah melihat kondisi suamiku. Segera aku buka pintu samping dan aku bangunkan Aa.

"Aa kok kenapa tidur di luar? Kenapa tidak bangunkan Ade?... Aa.... Ade minta maaf..." aku memeluknya dan airmataku mengalir pelan karena penyesalanku.

Tapi Aa terlihat tenang saja. Ia mencium pipiku dan keningku sambil tersenyum dan menyeka air mataku.

"Justru Aa yang minta maaf, karena pulang terlambat tanpa ngasih tahu Ade..." jawab Aa sambil melipat kain spanduk dan masuk ke rumah. Aku mengunci kembali pintunya. Lalu aku mengambilkan minum.

"Tapi kan Aa kedinginan di luar.. tuh banyak bekas gigitan nyamuk.. Kenapa Aa tidak telepon atau ketuk pintunya sampai Ade bangun? " lanjutku dengan mimik menyesal.

"Rasulullah dulu kalau pulang terlambat, mengetuk pintu 3 kali tidak dibukakan, beliau tidur di luar... Sebenarnya Aa sudha ketuk pintunya juga beberapa kali, tapi mungkin Ade kecapaian jadi Aa putuskan tidur disana saja. HP-nya sedang mati, baterieinya habis. Lagian kan ada kain spanduk banyak, bisa dijadikan alas." jawab suamiku dengan kalem.

"Sudah yuk kita wudhu, masaih ada waktu, kita sholat lail berjamaah. Aa nggak apa-apa kok. Aa tidak marah sama sekali. Justru Aa bersyukur bisa mencontoh apa yang pernah dilakukan Rasul." lanjutnya.

Lalu kami pun mendirikan sholat. Ia membaca surat An Naba pada rakaat pertama, dilanjutkan beberapa ayat surat Al Baqarah pada rakaat kedua. Aku tidak sanggup menahan haru atas semua kejadian yang aku lalui bersamanya. Sungguh, Allah telah memberikan kepadaku anugerah terindah dengan diberikan suami seperti Aa..

Setelah kejadian hari itu, beberapa kali Aa tidur lagi di luar. Dua bulan setelah itu pernah terjadi hal yang hampir sama, waktu itu Aa lupa bawa kunci yang telah digandakan. Dan terulang lagi beberapa kali pada bulan-bulan berikutnya. Jika aku terbangun tengah malam dan tidak mendapatinya disisiku padahal ia tidak pamit untuk menginap, sudah hampir pasti ia tidur di luar seperti malam itu.

Ah, Aa... sekarang sudah ada 4 orang buah hati anugerah ilahi yang menerangi dan meramaikan rumah tangga kita. Engkau masih saja seperti yang dulu. Sekarang sholat malam kita tidak hanya berdua, ada di sulung yang rajin ikut serta dan si Mbak yang juga tidak mau ketinggalan.

Sekarang kami sudah tidak di Batam lagi, namun kota Pulau itu telah menanamkan banyak kenangan bagiku. Benar kata orang yang sama-sama pernah merantau di Batam. Kota Batam, Kota Cinta, Kota Kenangan. ()

Untuk Aa : Maaf ya Ade ceritakan ini, Ade kangen saat-saat indah bersama Aa...

1 komentar:

Catatan Aries Kurniawan mengatakan...

Bagus ya blog nya ww sekarang sudah jadi penulis,,,,,,,,masih di indosat ya mas