Rabu, 12 September 2007

Cuma Kena Kaki

Senja menyelimuti pantai Nongsa. Perahu nelayan bersandar di dermaga kayu sederhana. Warga pesisir timur kota pulau ini mengingatkan masa lalu bangsa ini. Bangsa pelaut. Mereka memulai kesibukan menjelang malam. Anak-nak mulai menyelesaikan permainannya dan melangkah pulang. Beberapa orang terlihat berjalan menuju masjid sederhana yang berdiri di pinggir laut.

Pak Firdaus membelokkan mobil charade model lama yang kami tumpangi menuju salah satu hotel tua yang tidak dipakai lagi. Lokasi inilah yang dipilih untuk acara mabit malam ini. Karena letaknya yang bagus, di pinggir pantai dan murah, karena bekas resor yang tidak terpakai lagi… jadi hanya memberikan uang saku kepada penjaganya.

Ada kurang lebih 40 orang yang hadir pada acara malam itu. Pembicaranya datang dari Pekanbaru. Pesertanya datang dari beberapa daerah di wilayah Batam dan Bintan. Meskipun dari tempat yang berjauhan mereka tampak akrab satu sama lain.

Begitu sampai di lokasi, wajah-wajah ramah menyapa dengan senyuman khas. Saling bersalaman dan berangkulan dengan erat. Saat itu aku merasakan indahnya persaudaraan. Persaudaraan hakiki karena ikatan iman. Meskipun kami belum kenal sebelumnya tapi baru bertemu sudah sedemikian akrab. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi tanpa adanya ikatan hati.

Setelah sholat berjamaah, kami menikmati malam makan sederhana yang disiapkan panitia. Nasi bungkus dengan lauk beberapa potong untuk bersama-sama. Dua bungkus nasi dimakan bertiga. Kami semua membentuk lingkaran-lingkaran kecil dengan duduk saling berhadapan. Menikmati makan malam sederhana dengan kebahagiaan yang luar biasa. Sungguh nikmat yang tiada tara.

Ustadz menyampaikan ceramahnya tentang kemuliaan orang-orang yang beriman. Bahwa mereka tidak perlu bersedih dan cemas jika mereka termasuk orang-orang bertakwa. Pesan yang disampaikan dengan penuh kelembutan dan sangat menyentuh perasaan. Kami semua menyimak dengan seksama dan memahami apa yang disampaikan oleh Ustadz yang berumur setengah baya ini.

Acara berikutnya yang paling mengharukan. Pemutaran film dokumenter tentang tragedi Ambon. Saat itu memang sedang berkecamuk sengketa antar agama yang terjadi di kepulauan para raja itu. Film yang membangkitkan semangat solidaritas kepada sesama muslim yang sedang mendapatkan musibah.

Aku terharu ketika melihat tumpukan mayat-mayat di sebuah masjid yang dibakar. Kemudian ditayangkan upacara pemberangkatan pasukan jihad di Masjid Al Fatah. Tampak berbagai kalangan, berbagai usia, tua-muda mereka berbaris rapi mendengarkan taujih dari panglima. Hatiku semakin meronta ketika adzan dikumandangkan tanda bahwa pasukan akan segera diberangkatkan. Air mata tidak terbendung ketika melihat beberapa pasukan wanita yang menenteng senjata. Bahkan ada seorang anak kecil yang berada dalam barisan yang sama. Rasanya diri ini ingin beranjak dan masuk dalam barisan pasukan tersebut.

Kemudian ditayangkan bagaimana pasukan berangkat, berjalan kaki, naik kendaraan apa adanya kemudian naik kapal menuju pulau lain. Teriakan takbir berkumandang dimana-mana. Sungguh tontonan yang mengharu biru.

Malam hari kami menikmati syahdunya malam dalam indahnya qiyamul lail. Ustadz melantunkan beberapa bagian dari ayat-ayat surat An Anfaal dengan bacaan yang menyayat hati. Semakin lama hatiku semakin terbawa dalam alunan bacaan sang imam. Apalagi ketika sampai ayat :
Yaa ayyuhaladzina amanu ..idza lakitumuladhina kafaru zahfan ….

Dan seterusnya. Terasa ayat itu ditujukan kepada kami yang tidak ikut dalam barisan para mujahid. Air mata kami tidak terbendung lagi ketika sampai pada ayat :
Infiruu khifafan watsiqoolan ..wajahidu biamwalikum wa anfusakum …

Kami semua berurai air mata dan larut dalam khusuknya sholat malam. Hampir tidak kami rasakan gigitan nyamuk saat itu, meskipun kami tahu mereka sedang mengerubuti tubuh kami.

Setelah menutup dengan sholat witir, Ustadz memimpin doa bersama dengan kalimat yang mengiris kalbu. Kami memanjatkan doa untuk para syuhada yang telah mendahului kami. Kami juga berdoa untuk saudara-saudara kami yang sedang berjuang mempertahankan tanah airnya. Mereka yang tengah berjuang mempertahankan eksistensi agama ini. Kami juga berdoa untuk saudara kami di berbagai belahan bumi, di Palestina, di Afghanistan, di Ambon dan semua tempat tinggal mereka.

Kemudian kami menghabiskan malam dengan dzikir hingga subuh menjelang. Menutup fajar dengan doa matsurat yang membuat semakin kokohnya ikatan persaudaraan.

Pagi harinya kami melakukan olahraga bersama. Untuk membuat semarak acara, panitia membuat permainan perang-perangan. Kami dibagi menjadi 3 kelompok untuk merebut sebuah wilayah yang telah ditentukan. Untuk melumpuhkan lawan, kami berbekal amunisi berupa air yang dibungkus dalam sebuah plastik. Kami cukup melemparnya dan jika kena lawan, dianggap lawan telah gugur.

Permainan dimulai. Masing-masing regu menyusun strategi dan mencari tempat pertahanan. Masing-masing mulai bergerak menuju sasaran utama, yakni merebut area yang telah ditentukan.

Semua saling mengejar, saling melempar senjata dan saling berusaha melumpuhkan.

“Allahu Akbar !” begitu teriakan bagi yang terkena tembakan, menandakan bahwa dia sudah syahid.

Setelah pertempuran berjalan beberapa lama, salah satu regu berhasil melumpuhkan regu yang lain dan semakin mendekati daerah perebutan. Tinggal beberapa saat lagi mereka akan menguasai wilayah tersebut. Sampai akhirnya, regu ini teriak lantang

“Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Kami telah merebut wilayah ini.” Teriak mereka.

Namun ketika mereka sedang senang merayakan kemenangan, tiba-tiba salah seorang anggota regu lain berteriak:

“Curang, masa Gafur tadi sudah tertembak. Kok ikut main lagi? Curang. Permainan batal!” teriak peserta ini.

Gafur yang dituduh bermain curang membela:
“Saya nggak apa-apa kok. Tadi kan cuma kena di kaki saja masak bisa mati? Di Ambon saja sampai kakinya putus masih ikut perang?” jawabnya membela diri. Namun ia tidak menyadari bahwa teman-temannya yang menanggapi dengan senyuman…

Walah … Gafur… masih terbawa film tadi malam rupanya. Ini kan permainan. Dan perjanjiannya siapa yang tertembak akan gugur.

Pengalaman yang tidak terlupakan. Hampir sepuluh tahun peristiwa berlalu. Namun kenangan penuh keindahan bersama saudara-saudara seperjuangan masih tersimpan rapi di lubuk hati. Beberapa diantara mereka sekarang sudah ada yang menjadi anggota dewan, menjadi wakil bupati, wakil walikota dan jabatan-jabatan penting lainnya. Semoga antum masih mengenang ini semua, saudaraku! ()

Tidak ada komentar: