Kamis, 13 September 2007

Om Slank Sang Tukang Ojek

Nama aslinya jarang ada yang kenal, namun kami biasa memanggilnya Om Slank. Usianya beberapa tahun lebih muda dariku. Om Slank pernah menumpang menginap di rumah kami untuk beberapa waktu sebelum dia pindah ke rumah kontrakannya. Pekerjaan sehari-harinya menarik ojek. Kadang-kadang menerima order menjadi kurir untuk mengantar surat, dokumen atau barang dalam kota, kadang juga menerima order untuk pembayaran tagihan telepon, listrik, pengurusan KTP, STNK dan lainnya. Pokoknya dia selalu bersedia untuk melakukan tugas apapun yang halal.

Sebagaimana panggilannya, penampilan om Slank bisa ditebak, potongan rambut yang berurai panjang, baju kaos dan celanan jins butut. Itulah tampilan kesehariannya. Sebagai tukang ojek dia berinteraksi dengan berbagai tipe orang. Mulai dari pekerja, karyawan pabrik, ibu rumah tangga yang minta diantar pergi ke pasar, para pedagang dan juga -maaf- wanita yang bekerja di temapt-tempat hiburan.

Kami mengenal Om Slank sebagai orang yang baik. Meskipun latar belakang keluarganya kurang begitu harmonis. Kakaknya katanya seorang preman yang sering beroperasi di terminal di pasar kampungnya. Adiknya juga tidak jauh berbeda. Meskipun adiknya punya keahlian sebagai tukang kayu, namun adiknya ajrang berangkat kerja. Ia lebih senang mangkal di jalanan. Orangtuanya juga tidak harmonis lagi.

Namun dari ceritanya, kami berkesimpulan Om Slank adalah orang yang berbakti kepada orangtua. Dan ini dibuktikan hampir setiap bulan, dari hasil menarik ojek dan perkejaan lainnya selalu disisihkan secara khusus untuk dikirim kepada ibunya di kampung. Om Slank juga orang yang ringan tangan. Tetangga-tetangga sering meminta bantuan untuk melakukan suatu pekerjaan, apapun itu, dia selalu melakukan. Bahkan dia kadang-kadang tidak mau menanyakan apakah dapat imbalan atau tidak.

Suatu hari ketika terjadi kerusuhan di kota ini, waktu itu ada kerusuhan yang cukup menggemparkan. Konflik antar beberapa suku yang membuat kota Pulau ini mencekam. Semua ornag lebih memilih tinggal di rumah. Bentrokan terjadi dimana-mana. Bahkan kabar tentang terjadinya pembunuhan di suatu tempat beberapa kali terdengar. Sampai jam 9 malam Om Slank belum pulang. Kami semua was-was dengan keadaannya. Kami khawatir sesuatu menimpanya.

Kami tidak bisa menghubunginya karena dia tidak memiliki HP. Kami coba telepon ke beberapa orang langganannya, mereka semua menjawab tidak tahu. Ada yang hanya bilang tadi sore sempat bertemu di pasar pagi tapi tidak tahu sekarang dimana. Kami coba hubungi ke beberapa tempat yang biasa dia mangkal, di hotel, kafe atau warung tempat dia pernah mangkal mencari penumpang.

Semakin malam kami semakin panik. Kami tidak tahu harus berbuat apa-apa lagi. Meskipun kami tidak ada hubungan darah, namun Om Slank sudah menjadi bagian dari hidup kami, penghuni rumah ini. Kami hanya bisa pasrah dan berdoa semoga ia diberi keselamatan.

Jam 22 kurang, telepon rumah kami berdering. Aku segera menghampirinya. Ada perasaan was-was dan deg-degan. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan Om Slank dan ini telepon dari kepolisian atau rumah sakit. Sambil menahan perasaan seperti itu, aku coba menata nafas dan mengangkat telepon.

"Assalamuálaikum" terdengar suara dari seberang. Suara Om Slank. Aku sedikit lega mendengar suaranya. Setelah menjawab salamnya kami menanyakan keberadaan dan juga keselamatannya. Aku bilang segera pulang kami cemas menunggu Om Slank. Dia malah asyik bercerita kalau tadi di jalan ada seorang sopir taksi dari suku tertentu yang dihadang oleh orang dari suku lain yang sedang bertikai. Sopir taksi tersebut dikeroyok dan mobilnya dibakar. Kami semakin seram mendengar ceritanya. Dia bahkan cerita kalau tadi dijalan yang ia lewati ada sekelompok orang yang melakukan operasi KTP. Jika diketahui ada orang yang ber-KTP dari kota-kota suku tertentu langsung ditawan. Berkali-kali aku katakan agar Om Slank segera pulang, nanti cerita di rumah saja.

Seakan-akan tidak ada masalah apa-apa dia tetap bersikukuh masih mau narik lagi. Dia memang sering narik ojek sampai malam. Sering ia pulang lewat dari jam 12 malam. Alasannya karena penumpang malam hari memberi ongkos yang lebih banyak. Aku bilang narik ojeknya diterusin besok saja. Akhirnya setelah aku desak terus dia bersedia pulang dan akan mampir membeli gorengan dulu. Aku lega mendengarnya, sambil aku bilang tidak usah mampir-mampir, dia sudah keburu menutup teleponnya.

Om Slank juga orang yang pemurah. Bukan sekali itu saja dia pulang membawa oleh-oleh buat kami yang di rumah. Oh Iya kami tinggal di rumah berempat termasuk Om Slank. Ada saudarku yang tinggal di rumah ini dan seorang teman sekerja yang tinggal bersama. Kami masing-masing punya sepeda motor untuk transportasi ke tempat kerja masing-masing. Motor Om Slank adalah motor sewa, setiap bulan ia menyetorkan ke pemilik motornya. Hampir setiap hari Om Slank selalu membawa sesuatu dibawa pulang ke rumah. Kalau tidak minuman dingin, softdrink, gorengan, buah-buahan bahkan kalo hasil tarikannya sedang banyak dia membawa pulang sate untuk dimakan bersama.

Suatu hari Om Slank menyampaikan keinginannya untuk membeli motor sendiri. Agar tidak setiap bulan menyetorkan uang sewa. Padahal uang sewa motor hampir sama untuk membayar cicilan jika mengambil motor di dealer. Namun yang menjadi masalah adalah darimana mendapatkan uang sewanya. Kami berempat berembug tentang masalah ini. Semuanya setuju kalau Om Slank punya motor sendiri. Dia ternyata sudah mempersiapkan sebuah brosur dari dealer motor. Perlu uang muka minimal 3 jt untuk mengambil motor Honda seperti yang diinginkan. Aku coba memecahkan masalah dengan mengumpulkan semua uang dan tabungan yang kita miliki untuk dijadikan uang muka motor.

Om Slank sudah mengumpulkan uang 1,2 jt. Aku punya 500rb. Budi, teman sekerjaku juga masih punya simpanan, dan menyumbang 500rb. Mas Siswo punya 300rb. Kurang 500rb lagi. Aku berjanji untuk meminjamkan uang ke Pak Suryo, tetangga kami yang terkenal baik hati. Aku langsung menelepon ke rumah Pak Suryo. Setelah menceritakan kejadiannya, beliau bersedia meminjamkan Om Slank 500rb, bebas dibayar kapan saja kalau sudah ada. Dan malam itu juga Om Slank disuruh datang mengambil. Sudah mencukupi. Esok harinya Om Slank pergi ke dealer dan membawa pulang motor yang didinginkan.

Setahun lebih lamanya Om Slank tinggal di tempat kami sebelumnya akhirnya pindah dan mencari rumah kontrakan sendiri. Masih sering ia datang menjenguk kami dan dengan kebiasannya, kaos oblong bergambar rocker, jacket butut, celana jins yang sobek sana-sini, naik motor Astrea Grand-nya yang meskipun bekas tapi belum lama diambil dari dealer. Motornya sudah ditempel beberapa stiker disana-sini dan terkesan nyentrik. Kami yakin yang menggantung di stang itu adalah bungkusan berisi gorengan. Begitu ia menghentikan motornya kami langsung tertawa bersama dan makan gorengan bawaannya itu di halaman rumah ini.

Sudah lebih dari 5 tahun kami tidak bertemu dengan Om Slank lagi. Kabarnya sekarang sudah menikah dengan seorang gadis dari Sumatera Utara. Tapi kami tidak tahu pasti, karena sejak pindah tugas ke kota lain, aku belum pernah bertemu dengannya lagi.()


Salam kangen buat Om Slank, kapan kita makan gorengan lagi?

Tidak ada komentar: