Selasa, 25 September 2007

Episode di Pondok Cinta

Ini kisah dari seorang teman yang tinggal di dormitory Blok P. Namanya Fatiya.

Kami tinggal di dormitory untuk para operator. Salah satu lantai di Blok P, Batamindo, Muka Kuning. Seperti dorm pada umumnya, kami tinggal dalam jumlah yang banyak. Ada 12 orang yang menjadi penghuni rumah tinggal kami ini. Masih lumayan dibanding dormitori lain yang kadang sampai berpenghuni 16 orang. Jangan bandingkan dengan dorm para leader atau teknisi yang cuma dihuni 4 orang. Malah ada yang cuma 2 orang saja.

Namanya juga dormitori, kami tidak bisa memilih tempat tinggal yang orang Indonesia pada umumnya menyebut asrama ini. Kami hanya tinggal menempati saja, karena sudah ditentukan oleh perusahaan.

Kami menyebut tempat tinggal kami sebagai pondok cinta. Nggak tahu bagaimana awalnya, yang jelas kami selalu berusaha menyayangi satu sama lain. Meskipun kami berasal dari daerah yang berbeda, juga rentang usia yang berbeda pula.

Yang paling senior, kami memanggilnya Teh Fitni. Dia sudah lebih dari 5 tahun bekerja di perusahaan elektronik yang paling favorit ini. Tapi sampai sekarang masih menjadi operator. Kami menganggap Teh Fitni sebagai orangtua bagi kami, karena disamping usianya yang memang sudah tergolong dewasa, menjelang 30 tahun, mojang Bandung yang cantik ini juga memiliki sifat keibuan, mengayomi dan sangat baik hati. Bahkan ada yang memanggilnya Mami, karena di rumah ini dialah yang lebih banyak mengurus kami. Entah kenapa para lelaki tidak segera melamar Teh Fitni, sehingga sampai seusia yang lebih dari cukup itu ia masih berstatus gadis. Padahal wajahnya lumayan cantik, katanya kalau orang Sunda memang wajah standarnya ya lebih cantik dari paras biasanya. Ia juga dewasa, pintar, baik hati, dan mudah bergaul dengan siapapun, kecuali dengan lelaki.

Teh Fitni memang sangat tertutup dengan lawan jenis. Dia memakai kerudung lebar, hampir sampai menutup seluruh tangannya. Dia aktif di beberapa kegiatan, terutama Majelis Taklim perusahaan dan Remaja Masjid Nurul Islam (RMNI). Kadang-kadang memang ada tamu lelaki yang mencarinya, tapi paling cuma berbicara masalah kegiatan, mengantar buku, undangan rapat, dan sejenisnya, itupun mereka hanya berbicara sebentar. Teh Fitni malah kadang hanya menerima tamunya dari balik pintu. Kalaupun menemui tamu lelakinya di luar pintu, dia hanya berbicara sambil menunduk. Entahlah, Teh Fitni seperti orang aneh, sama sekali tidak pernah bercerita tentang lawan jenisnya.

Padahal sebagian besar diantara kami sudah punya pacar. Dewi yang baru datang dari Semarang, rekrutan tahun lalu, sekarang sudah punya pacar, seorang teknisi. Beberapa orang diantara kami bahkan sering dikunjungi pacarnya pada hari-hari libur kerja. Tapi kami sudah menyepakati peraturan jam kunjungan ke dormitori kami, tata tertib berkunjung dan lainnya, berdasarkan saran dari Teh Fitni.

Teh Fitni orang yang rajin menolong. Dia juga teman curhat yang baik. Meskipun dia mengaku tidak punya pacar dan tidak punya pengalaman pacaran, kami tetap saja menjadiannya sebagai teman curhat. Dia selalu memberikan pandangan-pandangan yang sangat baik, dengan kedewasaan berpikir dan selalu saja dia menyangkutkan dengan nilai-nilai Islam, sebagaimana ajaran yang kami pegang. Enaknya, Teh Fitni tidak pernah menghakimi kami. Dia tidak pernah berkata dengan keras atau melarang kami pacaran. Dia hanya mengingatkan batas-batasnya, selalu mengingatkan waktu sholat dan seterusnya.

Ia juga sering membelikan kami oleh-oleh. Sepulang dari kegiatan di masjid, ia kerap membawa pulang gorengan, atau makanan kecil lainnya. Apalagi kalau habis mengikuti acara di luar Muka Kuning, ia selalu membawa oleh-oleh. Meskipun sederhana, kami senang mendapat perhatiannya. Waktu pulang ke Bandung, Teh Fitni membawakan kami masing-masing diberi souvenir yang cantik-cantik. Ada uang mendapat tas kecil, dompet, gantungan, hiasan dinding, bahkan ada yang dibawakan kaos lengan panjang. Kami selalu dibuat senang olehnya.

Ketika Shinta, salah satu penghuni kamar ini yang aslinya dari Pekanbaru, mengalami musibah, orangtuanya meninggal dunia. Teh Fitni yang meneghiburnya bahkan menemaninya pulang kampung. Teh Fitni juga yang mengumpulkan bantuan dari teman-teman PT sampai teman-temannya di RMNI. Saat tiba-tiba Komala, yang juga asli dari Bandung tiba-tiba sakit dan harus dirawat di Harapan Bunda, Teh Fitni bahkan rela mengambil cuti untuk menjaga Komala di RS.

Kebiasan Teh Fitni adalah selalu mengingatkan kami untuk menjada kebersihan dormitori. Katanya kebersihan sebagian dari iman, dan ciri wanita yang shalihah. Harus diakui, meskipun kami semua sama-sama wanita, tidak semuanya tertib dalam menjaga kebersihan. Ada yang sering meletakkan barang pribadinya begitu saja. Pulang kerja, karena capek, apalagi kalau shift second, wah terasa sekali capeknya. Jam 11 malam masuk rumah seperti tinggan separuh tenaga. Biasanya teman-teman suka meletakkan barang begitu saja, sepatu dicampakkan sembarangan, uniform disampirkan ke kursi, pintu, pinggiran tempat tidur, dll. Handuk juga sering mampir di semua tempat. Dan saat seperti itu biasanya Teh Fitni yang merapikannya. Tiba-tiba saja pagi hari kami dapatkan, handuk sudah tertata rapi di jemuran. Sepatu sudah tertata rapi, baju-baju kami juga terlipat atau digantung rapi di dekat lemari masing-masing.

Pernah suatu hari aku pulang kegiatan agak terlambat. Oh iya, aku berbeda dengan Teh Fitni. Aku lebih senang berpenampilan simple. Rambut potong agak pendek, pakaian juga yang simple, celana jeans, t-shirt lengan pendek dan selalu membawa tas gantungan. Aku ikut kegiatan Karang Taruna dan Argapala, kelompok pecinta alam.

Saat pulang ke dormitori sore itu aku teringat bahwa aku masih punya cucian yang belum selesai. Aku termasuk orang yang agak malas mencuci. Kemarin sebelum berangkat acara kemah aku sempat merendam pakaianku dalam 2 ember. Satu ember besar untuk berbagai jenis pakaianku seminggu dan satu ember kecil berisi unform agar tidak terkena noda luntur.

Sampai di rumah aku celingukan kesana-kemari karena tidak mendapatkan ember-emberku. Wah gawat, pikirku. Bajuku dimana?

Tiba-tiba Teh Fitni menjulurkan wajahnya dari balik sekat yang membatasi dapur dengan kamar mandi. "Fatiya, ya.... Maaf dhek, bajunya Teteh cuciin, mungkin sekarang udah kering, itu dijemuran.." teriak Teh Fitni enteng.

Aku kaget mendengar ucapan Teteh kami ini. Kok bisa-bisanya mencucikan bajuku yang seabrek gitu. Saat aku mendekat mau meminta penjelasan, Teh Fitni sudah menimpali kembali,

"Soalnya Teteh kasihan sama Tiya, nanti kalau pulangnya sora, bajunya belum dicuci, takut nggak dapat panas lagi. Kan uniformnya besok dipakai kerja, masuk pagi kan? Kebetulan Teteh juga sedang senggang, ya sudah Teteh cuci saja... nggak apa-apa kan?" lanjut Teh Fitni yang membuatku semakin merasa tidak enak.

Belum sempat aku mengucapkan terima kasih karena masih bingung seakan tidak percaya, si Teteh sudah mengemasi maskannya, sudah pamitan lagi.

"Tadi Teteh sudah goreng ikan sama tempe, ada sayur asam di meja dan di kulkas masih ada kue kecil. Nanti buat makan malam Tiya sama Komala ya. Yang lainnya tadi sudah makan, yang masuk malam biasanya sudah siap-siap makan malamnya. Teteh mau ada acara di Nuris (Masjid Nurul Islamm-pen) mungkin pulang agak malam. Dah ya Tiya, istirahat aja, kan capek habis camping. Wassalamuálaikum."

Begitu saja si Teteh mencium pipiki kanan dan kiri lalu berlalu keluar kamar. Hanya kibasan jilbab panjangnya yang aku rasakan. Aku hampir tidak percaya dengan semuanya.

Teh Fitni, ah... air mata ini tiba-tiba saja tidak terbendung. Begitu baiknya dirimu kepada kami yang engkau anggap sebagai adik-adikmu sendiri. Masih ada orang sebaik dirimu Teh... Engkau bukan hanya seorang bidadari di rumah ini, engkau adalah bidadari kehidupan kami. Cantik wajahmu, cantik juga hatimu.()

buat alumni Blok P # sekian # sekian # sekian, kapan ya kita bisa bertemu lagi...

Tidak ada komentar: